24 Feb 2013

Putri Tandampalik Cerita Rakyat Dari Sulawesi Selatan

Putri Tandampalik Cerita Rakyat Dari Sulawesi Selatan

Alkisah, pada  zaman dahulu kala, di sebuah daerah di Provinsi Sulawesi Selatan,  berdiri  sebuah kerajaan yang bernama Kerajaaan Luwu. Kerajaan ini  dipimpin oleh seorang  raja atau datu yang bernama La Busatana  Datu Maongge, atau sering  dipanggil Raja Luwu atau Datu Luwu. Ia adalah  seorang raja yang adil, arif dan  bijaksana, sehingga rakyatnya hidup  makmur dan sentosa. Datu Luwu mempunyai seorang  putri yang cantik  jelita dan berperangai baik, namanya Putri Tandampalik. Berita   kecantikan dan perangai baiknya tersebar sampai ke berbagai negeri di  Sulawesi  Selatan.

Pada  suatu hari, Raja Bone ingin  menikahkan putranya dengan Putri  Tandampalik. Ia pun mengutus beberapa pengawal  istana ke Kerajaan Luwu  untuk melamar sang Putri. Sesampainya di istana Luwu,  utusan tersebut  disambut dengan ramah oleh Datu Luwu. “Ampun, Baginda! Kami  adalah  utusan Raja Bone,” lapor seorang utusan sambil memberi hormat kepada   Datu Luwu. “Kalau boleh aku tahu, ada apa gerangan kalian diutus oleh  Raja  kalian ke istana kami?,” tanya Datu Luwu dengan penuh wibawa.  “Ampun, Baginda! Perkenankanlah  kami untuk menyampaikan lamaran Raja  Bone untuk putranya kepada putri Baginda  yang bernama Putri  Tandampalik,” jawab utusan itu memberi hormat.

Mendengar  lamaran itu, Datu Luwu  terdiam sejenak. Ia bingung untuk mengambil  keputusan, menerima atau menolaknya,  sebab dalam adat Kerajaan Luwu,  seorang gadis Luwu tidak dibenarkan menikah  dengan pemuda dari negeri  lain. Akan tetapi, jika lamaran itu ditolak, ia  khawatir akan terjadi  perang yang sangat dahsyat antara dua kerajaan, sehingga  membuat rakyat  menderita. Setelah beberapa saat berpikir, Datu Luwu masih  kebingungan  untuk memberikan jawaban. “Wahai, Utusan! Perlu kalian ketahui, bahwa   di Kerajaan Luwu ini berlaku sebuah hukum adat, yaitu seorang putri  Luwuk tidak  boleh menikah dengan pemuda dari negeri lain. Untuk itu,  tolong sampaikan  kepada raja kalian, supaya aku diberi waktu beberapa  hari untuk memikirkan  lamarannya tersebut,” ujar Datu Luwu. Utusan Raja  Bone memahami dan mengerti  keputusan Datu Luwu. Mereka pun kembali ke  Kerajaan Bone untuk menyampaikan berita  tersebut kepada Raja Bone.

Keesokan  harinya, tiba-tiba negeri Luwu geger. Putri Tandampalik terserang penyakit  kusta. Sekujur   tubuhnya mengeluarkan cairan kental yang berbau anyir dan sangat  menjijikkan.  Para tabib istana mengatakan bahwa Putri Tandampalik  terserang penyakit menular  yang sangat berbahaya. Berita  tentang musibah yang menimpa sang Putri  sudah tersebar ke seluruh  negeri. Rakyat negeri Luwu sangat bersedih atas  penyakit yang diderita  oleh sang Putri yang mereka cintai itu. Setelah berpikir  dan  menimbang-nimbang, Datu Luwu memutuskan untuk mengasingkan putrinya ke   suatu tempat yang jauh. Ia   khawatir penyakit putrinya akan menular ke seluruh rakyatnya.  “Putriku! Demi  keselamatan seluruh rakyat di negeri ini, relakah engkau  jika Ayah mengasingkanmu  ke daerah lain?” tanya Raja Luwu pada  putrinya. “Jika itu adalah jalan yang  terbaik, Ananda menerima  keputusan Ayah dengan senang hati,” jawab sang Putri menerima  keputusan  ayahnya dengan tulus.

Dengan  berat hati, Datu Luwu  terpaksa harus berpisah dengan putri yang sangat  dicintainya itu. Berangkatlah sang  Putri dengan perahu bersama  beberapa pengawal istana. Sebelum berangkat, Datu  Luwu memberikan  sebuah keris pusaka kepada Putri Tandampalik sebagai tanda  bahwa ia  tidak pernah melupakan, apalagi membuang anaknya. Setelah  mempersiapkan  segala perbekalan yang dibutuhkan, berangkatlah mereka ke suatu  daerah  yang jauh dari Kerajaan Luwu. Berbulan-bulan sudah mereka berlayar  tanpa  arah dan tujuan.

Pada  suatu hari, tampaklah bagi mereka  sebuah pulau dari kejauhan. “Lihat,  Tuan Putri!” seru seorang pengawal sambil  menunjuk ke arah pulau itu. “Akhirnya,  kita pun menemukan pulau,”  jawab sang Putri dengan perasaan lega. Para  pengawal pun semakin cepat mengayuh  perahunya mendekati pulau itu.  “Wah, indah sekali pemandangan itu. Sepertinya  pulau itu belum terjamah  oleh manusia,” sahut pengawal yang lain dengan kagum.

Tak  berapa  lama, sampailah mereka di pulau itu. Seorang pengawal yang  lebih dahulu  menginjakkan kakinya di pulau itu menemukan buah wajao. Pengawal itu  kemudian memetik beberapa biji buah wajao untuk sang Putri. “Pulau ini  kuberi nama Pulau Wajo,”  kata  sang Putri saat menerima buah itu. Sejak saat itu, Putri  Tandampalik beserta  pengawalnya memulai kehidupan baru. Mereka hidup  dengan penuh kesederhanaan. Meskipun  demikian, mereka tetap bekerja  keras penuh dengan semangat dan gembira. Hari  berganti hari, minggu  berganti minggu, bulan berganti bulan, tak terasa satu  tahun sudah  mereka berada di tempat itu.

Suatu  waktu,  Putri Tandampalik duduk di tepi danau yang terletak di tengah  pulau itu. Tiba-tiba  seekor kerbau putih menghampiri dan menjilati  kulit sang Putri dengan lembut. Semula,  sang Putri hendak mengusirnya.  Tetapi, hewan itu tampak jinak dan terus  menjilatinya. Akhirnya, ia  diamkan saja. Sungguh ajaib! Setelah berkali-kali  dijilat oleh kerbau  itu, kulit sang Putri yang mengeluarkan cairan tiba-tiba  hilang tanpa  bekas. Kulit sang Putri kembali halus, mulus dan bersih seperti   sediakala. Sang Putri terharu dan bersyukur kepada Tuhan, karena  penyakitnya  telah sembuh. Ia kemudian berpesan kepada para pengawalnya,  “Mulai saat ini,  aku minta kalian untuk tidak menyembelih atau memakan  kerbau putih yang ada di  pulau ini, karena hewan itu telah  menyembuhkan penyakitku.” Permintaan sang  Putri itu langsung dipenuhi  oleh seluruh pengawalnya. Hingga kini, kerbau putih  yang ada di Pulau  Wajo dibiarkan hidup bebas dan beranak pinak. Kemudian oleh  masyarakat  setempat, kerbau putih tersebut disebut sebagai sakkoli.

Pada  suatu  hari, pulau Wajo kedatangan serombongan pemburu. Mereka adalah  Putra Mahkota  Kerajaan Bone yang didampingi oleh Anreguru Pakanranyeng, Panglima Kerajaan Bone, dan beberapa pengawalnya. Saking  asyiknya  berburu, Putra Mahkota Raja Bone tidak sadar kalau ia sudah  terpisah dari  rombongannya dan tersesat di hutan. Ia terus berteriak  memanggil panglima dan  para pengawalnya. “Panglimaaa...! Pengawaaal...!  Aku di sini, kalian di mana...?”  Berkali-kali sang Putra Mahkota  berteriak, namun tidak ada jawaban. Menjelang  malam, ia pun memutuskan  untuk berstirahat di bawah sebuah pohon besar, karena  kelelahan  seharian berburu.

Malam  semakin  larut, Putra Mahkota tidak dapat memejamkan matanya.  Suara-suara binatang malam  membuatnya terus terjaga dan gelisah. Di  tengah gelapnya malam, tiba-tiba ia  melihat seberkas cahaya dari  kejauhan. Semakin lama, pancaran cahaya itu  semakin terang. Ia sangat  penasaran ingin mengetahuinya. Ia kemudian  memberanikan diri untuk  mencari sumber cahaya itu. Dengan tertatih-tatih, Putra  Mahkota  berusaha berjalan mengikuti kaki melangkah menelusuri gelapnya malam.  Akhirnya,  sampailah ia di sebuah perkampungan yang ramai dengan  rumah-rumah penduduk. Setelah  ia memasuki perkampungan itu, sumber  cahaya itu semakin jelas terdapat di  sebuah rumah yang nampak kosong.  Dengan melangkah pelan-pelan, Putra Mahkota  mendekati dan memasuki  rumah itu. Alangkah terkejutnya ia ketika melihat  seorang gadis yang  cantik sekali bak bidadari sedang menjerang (memasak) air di  dalam  rumah itu. Gadis   cantik itu tidak lain adalah Putri Tandampalik. “Ya, Tuhan! Mimpikah  aku.  Selama hidupku, baru kali ini aku melihat gadis secantik itu,”  kata Putra  Mahkota dalam hati dengan perasaan kagum.

Putri   Tandampalik yang merasa kedatangan tamu, tiba-tiba menoleh. Sang Putri   tergagap, “Tampan sekali pemuda ini. Tetapi, siapa dia dan dari mana  asalnya? Sepertinya  dia bukan penduduk sini,” kata sang Putri dalam  hati. Kemudian mereka berdua berkenalan.  Dalam waktu singkat, keduanya sudah akrab. Putri   Tandampalik sangat kagum dengan kehalusan tutur bahasa Putra Mahkota.  Meski ia  seorang calon raja, ia sangat sopan dan rendah hati.  Sebaliknya, bagi Putra  Mahkota, Putri Tandampalik adalah seorang gadis  yang anggun dan tidak sombong. Kecantikan  dan penampilannya yang  sederhana membuat Putra Mahkota kagum dan langsung  menaruh hati. Namun,  Putra Mahkota tidak bisa berlama-lama di Pulau Wajo  menemani Putri  Tandampalik, karena ia harus kembali ke negerinya untuk  menyelesaikan  beberapa kewajibannya di Istana Bone.

Sejak   perjalanan dari Pulau Wajo sampai ke Kerajaan Bone, Putra Mahkota  selalu  teringat pada wajah cantik Putri Tandampalik. Ingin rasanya  Putra Mahkota  tinggal di Pulau Wajo. Anreguru Pakanyareng yang lebih  dulu tiba di negeri Bone  setelah berpisah dengan Putra Mahkota di Pulau  Wajo, mengetahui apa yang  dirasakan oleh putra rajanya itu. Ia sering  melihat Putra Mahkota duduk  termenung seorang diri di tepi telaga. Oleh  karena tidak ingin melihat tuannya  terus bersedih, maka Anreguru  Pakanyareng segera menghadap dan menceritakan  semua kejadian yang  pernah mereka alami di Pulau Wajo. “Ampun, Baginda Raja! Hamba   mengusulkan agar Paduka Raja segera melamar Putri Tandampalik,” usul  Anreguru  Pakanyareng. Setelah mendengar semua cerita dan usulan  Anreguru itu, Raja Bone  segera mengutus beberapa pengawalnya  mendampingi Putra Mahkota untuk melamar  Putri Tandampalik di Pulau  Wajo.

Sesampainya  di  pulau itu, Putri Tandampalik tidak langsung menerima lamaran Putra  Mahkota. Ia  hanya memberikan keris pusaka Kerajaan Luwu yang diberikan  ayahnya ketika ia  diasingkan. “Maaf, Tuan-tuan! Aku belum bisa menerima  lamaran kalian. Bawalah  keris ini kepada Ayahandaku. Jika Ayahandaku  menerima keris ini berarti lamaran  kalian diterima,” ujar sang Putri  seraya menyerahkan keris pusaka itu. Setelah  bermusyawarah dengan  pengawalnya, Putra Mahkota memutuskan untuk berangkat  sendiri ke  Kerajaan Luwu. Perjalanan berhari-hari ia jalani penuh dengan  semangat.  Setibanya di Kerajaan Luwu, Putra Mahkota menceritakan pertemuannya   dengan Putri Tandampalik dan menyerahkan keris pusaka itu pada Datu  Luwu.

Datu  Luwu dan  permasuri sangat gembira mendengar berita baik tersebut. Datu  Luwu sangat kagum  dengan perangai Putra Mahkota. Datu Luwu merasa  bahwa Putra Mahkota adalah  seorang pemuda yang gigih, bertutur kata  lembut, sopan dan penuh semangat. Tanpa  berpikir panjang lagi, Datu  Luwu menerima keris pusaka itu dengan tulus. Hal  ini berarti bahwa  lamaran Putra Mahkota diterima. Tanpa menunggu lama, Datu  Luwu dan  permaisuri datang mengunjungi Pulau Wajo untuk menemui putri   kesayangannya. Pertemuan Datu Luwu dengan putri tunggalnya sangat  mengharukan.  “Maafkan Ayah, Nak! Ayah telah membuangmu ke tempat ini,”  Datu Luwu minta maaf  sambil memeluk putrinya. “Tidak, Ayah! Justru Ayah  harus bersyukur, karena  rakyat Luwu terhindar dari penyakit menular  yang menimpa diriku,” kata Putri  Tandampalik.

Beberapa  hari  kemudian, Putri Tandampalik menikah dengan Putra Mahkota Raja  Bone di Pulau Wajo.  Pesta pernikahan mereka berlansung sangat meriah.  Seluruh keluarga dari dua  Kerajaan Besar di Sulawesi Selatan itu sangat  gembira dengan pernikahan  tersebut. Putri Tandampalik dan Putra  Mahkota hidup bahagia. Beberapa tahun  kemudian, Putra Mahkota naik  tahta. Ia menjadi raja yang arif dan bijaksana.  Maka semakin  bertambahlah kebahagiaan mereka.




disadur dari : Effendy,  Tennas. 2006. Tunjuk Ajar Melayu. Yogyakarta: Balai Kajian dan  Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan AdiCita Karya Nusa.

Legenda Klentheng Ancol Cerita Rakyat Dari DKI

Legenda Klentheng Ancol Cerita Rakyat Dari DKI

Dahulu kala, ada sebuah kapal berlayar dari Negeri China menuju ke pelabuhan Sunda Kelapa, kapal itu milik Sampo Toalang. Di dalam kapal itu ada seorang juru masak yang bernama Ming.

Suatu hari, pada saat dalam perjalanan, tiba-tiba kapal itu diterjang ombak yang sangat besar. Semua orang panik dibuatnya. Mereka tidak menyangka akan adanya ombak besar karena cuaca hari itu sangat bagus.Tiba-tiba di depan kapal mereka, muncul seekor naga yang amat besar. Dengan menjulurkan lidahnya, naga itu menghadang laju kapal itu. Rupanya naga itulah yang membuat ombak besar sehingga kapal terombang ambing.

Seketika Sampo Toalang mengeluarkan pedangnya, kemudian dia melompat ke arah sang naga dan pertarunganpun tak terhindarkan. Pertarungan itu seru sekali. Setelah lama bertarung, akhirnya naga itu berhasil dibunuh oleh Sampo Toalang. Melihat hal itu, anak buah kapal bersorak gembira karena semua bisa selamat.

Kapal Sampo Toalang kembali melanjutkan perjalanan dengan aman.Singkat cerita, akhirnya kapal itu sudah mendekati daerah sunda kepala. Namun tiba-tiba Sampo Toalang berkata ”Saudara-saudara, kita akan berlabuh di Ancol, karena Sunda kelapa sedang banjir, sekarang kalian turunlah ke darat. Can belilah oabat-obatan dan kamu, Ming, belilah makanan dan minuman”

Akhirnya, semua anak buah Sampo Toalang turun di ancol. Mereka semua menjalankan tugas masing-masing.

Ming sang juru masak pergi ke pasar untuk membeli makanan dan minuman yang akan digunakan sebagai bahan persediaan di kapal.Di sela-sela belanja, Ming melihat seorang gadis cantik. ”siapa gadis cantik itu, aku ingin tahu namanya” kata Ming dalam hati.

Tanpa sungkan-sungkan akhirnya Ming mendatangi gadis itu ”Salam, namaku Ming, bolehkah aku berkenalan denganmu?” tanya Ming. ”Namaku Siti. Lengkapnya Siti Wati” kata gadis cantik itu.

Melihat kecantikan siti, Ming langsung menyukainya. Ming lupa akan tugasnya sebagai juru masak di kapal dan malah akhirnya dia memutuskan untuk tinggal di Ancol demi si Siti.

Asmara mereka berdua berlanjut dan beberapa bulan kemudian Ming dan Siti Wati menikah.

Ming sangat disukai oleh penduduk Ancol. Dia mengajarkan penduduk Ancol memasak sesuai keahliannya sebagai juru masak.

Telah bertahun-tahun Ming tinggal di Ancol.

Suatu hari Ming dan istrinya sakit keras, entah apa penyakitnya, lama sakit mereka tak sembuh-sembuh dan akhirnya Ming dan Siti Wati meninggal dunia.

Untuk mengenang Ming dan Siti Wati, penduduk Ancol membangun sebuah kelenteng. Kelenteng itu dinamai kelenteng Ancol.

Putri Tangguk Cerita Rakyat Dari Jambi


Alkisah, di Negeri Bunga, Kecamatan Danau Kerinci Jambi, ada seorang perempuan bernama Putri Tangguk. Ia hidup bersama suami dan tujuh orang anaknya. Untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, ia bersama suaminya menanam padi di sawahnya yang hanya seluas tangguk. Meskipun hanya seluas tangguk, sawah itu dapat menghasilkan padi yang sangat banyak. Setiap habis dipanen, tanaman padi di sawahnya muncul lagi dan menguning. Dipanen lagi, muncul lagi, dan begitu seterusnya. Berkat ketekunannya bekerja siang dan malam menuai padi, tujuh lumbung padinya yang besar-besar sudah hampir penuh. Namun, kesibukan itu membuatnya lupa mengerjakan pekerjaan lain. Ia terkadang lupa mandi sehingga dakinya dapat dikerok dengan sendok. Ia juga tidak sempat bersilaturahmi dengan tetangganya dan mengurus ketujuh orang anaknya.

Pada suatu malam, saat ketujuh anaknya sudah tidur, Putri Tangguk berkata kepada suaminya yang sedang berbaring di atas pembaringan.

“Bang! Adik sudah capek setiap hari menuai padi. Adik ingin mengurus anak-anak dan bersilaturahmi ke tetangga, karena kita seperti terkucil,” ungkap Putri Tangguk kepada suaminya.

“Lalu, apa rencanamu, Dik?” tanya suaminya dengan suara pelan.

“Begini Bang! Besok Adik ingin memenuhi ketujuh lumbung padi yang ada di samping rumah untuk persediaan kebutuhan kita beberapa bulan ke depan,” jawab Putri Tangguk.

“Baiklah kalau begitu. Besok anak-anak kita ajak ke sawah untuk membantu mengangkut padi pulang ke rumah,” jawab suaminya.

“Ya, Bang!” jawab Putri Tangguk.

Beberapa saat kemudian, mereka pun tertidur lelap karena kelelahan setelah bekerja hampir sehari semalam. Ketika malam semakin larut, tiba-tiba hujan turun dengan deras. Hujan itu baru berhenti saat hari mulai pagi. akibatnya, semua jalan yang ada di kampung maupun yang menuju ke sawah menjadi licin.

Usai sarapan, Putri Tangguk bersama suami dan ketujuh anaknya berangkat ke sawah untuk menuai padi dan mengangkutnya ke rumah. Dalam perjalanan menuju ke sawah, tiba-tiba Putri Tangguk terpelesat dan terjatuh. Suaminya yang berjalan di belakangnya segera menolongnya. Walau sudah ditolong, Putri Tangguk tetap marah-marah.

“Jalanan kurang ajar!” hardik Putri Tangguk.

“Baiklah! Padi yang aku tuai nanti akan aku serakkan di sini sebagai pengganti pasir agar tidak licin lagi,” tambahnya.

Setelah menuai padi yang banyak, hampir semua padi yang mereka bawa diserakkan di jalan itu sehingga tidak licin lagi. Mereka hanya membawa pulang sedikit padi dan memasukkannya ke dalam lumbung padi. Sesuai dengan janjinya, Putri Tangguk tidak pernah lagi menuai padi di sawahnya yang seluas tangguk itu. Kini, ia mengisi hari-harinya dengan menenun kain. Ia membuat baju untuk dirinya sendiri, suami, dan untuk anak-anaknya. Akan tetapi, kesibukannya menenun kain tersebut lagi-lagi membuatnya lupa bersilaturahmi ke rumah tetangga dan mengurus ketujuh anaknya.

Pada suatu hari, Putri Tangguk keasyikan menenun kain dari pagi hingga sore hari, sehingga lupa memasak nasi di dapur untuk suami dan anak-anaknya. Putri Tangguk tetap saja asyik menenun sampai larut malam. Ketujuh anaknya pun tertidur semua. Setelah selesai menenun, Putri Tangguk pun ikut tidur di samping anak-anaknya.

Pada saat tengah malam, si Bungsu terbangun karena kelaparan. Ia menangis minta makan. Untungnya Putri Tangguk dapat membujuknya sehingga anak itu tertidur kembali. Selang beberapa waktu, anak-anaknya yang lain pun terbangun secara bergiliran, dan ia berhasil membujuknya untuk kembali tidur. Namun, ketika anaknya yang Sulung bangun dan minta makan, ia bukan membujuknya, melainkan memarahinya.

“Hei, kamu itu sudah besar! Tidak perlu dilayani seperti anak kecil. Ambil sendiri nasi di panci. Kalau tidak ada, ambil beras dalam kaleng dan masak sendiri. Jika tidak ada beras, ambil padi di lumbung dan tumbuk sendiri!” seru Putri Tangguk kepada anak sulungnya.

Oleh karena sudah kelaparan, si Sulung pun menuruti kata-kata ibunya. Namun, ketika masuk ke dapur, ia tidak menemukan nasi di panci maupun beras di kaleng.

“Bu! Nasi dan beras sudah habis semua. Tolonglah tumbukkan dan tampikan padi!” pinta si Sulung kepada ibunya.


“Ya, sudahlah kalau begitu. Tahan saja laparnya hingga besok pagi! Ibu malas menumbuk dan menampi beras, apalagi malam-malam begini. Nanti mengganggu tetangga,” ujar Putri Tangguk.

Usai berkata begitu, Putri Tangguk tertidur kembali karena kelelahan setelah menenun seharian penuh. Si Sulung pun kembali tidur dan ia harus menahan lapar hingga pagi hari.

Keesokan harinya, ketujuh anaknya bangun dalam keadaan perut keroncongan. Si Bungsu menangis merengek-rengek karena sudah tidak kuat menahan lapar. Demikian pula, keenam anaknya yang lain, semua kelaparan dan minta makan. Putri Tangguk pun segera menyuruh suaminya mengambil padi di lumbung untuk ditumbuk. Sang Suami pun segera menuju ke lumbung padi yang berada di samping rumah. Alangkah terkejutnya sang Suami saat membuka salah satu lumbung padinya, ia mendapati lumbungnya kosong.

“Hei, ke mana padi-padi itu?” gumam sang Suami.

Dengan perasaan panik, ia pun memeriksa satu per satu lumbung padinya yang lain. Namun, setelah ia membuka semuanya, tidak sebutir pun biji padi yang tersisa.

“Dik...! Dik...! Cepatlah kemari!” seru sang Suami memanggil Putri Tangguk.

“Ada apa, Bang?” tanya Putri Tangguk dengan perasaan cemas.

“Lihatlah! Semua lumbung padi kita kosong. Pasti ada pencuri yang mengambil padi kita,” jawab sang Suami.

Putri Tangguk hanya ternganga penuh keheranan. Ia seakan-akan tidak percaya pada apa yang baru disaksikannya.

“Benar, Bang! Tadi malam pencuri itu juga mengambil nasi kita di panci dan beras di kaleng,” tambah Putri Tangguk.

“Tapi, tidak apalah, Bang! Kita masih mempunyai harapan. Bukankah sawah kita adalah gudang padi?” kata Putri Tangguk.

Usai berkata begitu, Putri Tangguk langsung menarik tangan suaminya lalu berlari menuju ke sawah. Sesampai di sawah, alangkah kecewanya Putri Tangguk, karena harapannya telah sirna.

“Bang! Pupuslah harapan kita. Lihatlah sawah kita! Jangankan biji padi, batang padi pun tidak ada. Yang ada hanya rumput tebal menutupi sawah kita,” kata Putri Tangguk.

Sang Suami pun tidak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya tercengang penuh keheranan menyaksikan peristiwa aneh itu. Dengan perasaan sedih, Putri Tangguk dan suaminya pulang ke rumah. Kakinya terasa sangat berat untuk melangkah. Selama dalam perjalanan, Putri Tangguk mencoba merenungi sikap dan perbuatannya selama ini. Sebelum sampai di rumah, teringatlah ia pada sikap dan perlakuannya terhadap padi dengan menganggapnya hanya seperti pasir dan menyerakkannya di jalan yang becek agar tidak licin.

“Ya... Tuhan! Itukah kesalahanku sehingga kutukan ini datang kepada kami?” keluh Putri Tangguk dalam hati.

Sesampainnya di rumah, Putri Tangguk tidak dapat berbuat apa-apa. Seluruh badannya terasa lemas. Hampir seharian ia hanya duduk termenung. Pada malam harinya, ia bermimpi didatangi oleh seorang lelaki tua berjenggot panjang mengenakan pakaian berwarna putih.

“Wahai Putri Tangguk! Aku tahu kamu mempunyai sawah seluas tangguk, tetapi hasilnya mampu mengisi dasar Danau Kerinci sampai ke langit. Tetapi sayang, Putri Tangguk! Kamu orang yang sombong dan takabbur. Kamu pernah meremehkan padi-padi itu dengan menyerakkannya seperti pasir sebagai pelapis jalan licin. Ketahuilah, wahai Putri Tangguk...! Di antara padi-padi yang pernah kamu serakkan itu ada setangkai padi hitam. Dia adalah raja kami. Jika hanya kami yang kamu perlakukan seperti itu, tidak akan menjadi masalah. Tetapi, karena raja kami juga kamu perlakukan seperti itu, maka kami semua marah. Kami tidak akan datang lagi dan tumbuh di sawahmu. Masa depan kamu dan keluargamu akan sengsara. Rezekimu hanya akan seperti rezeki ayam. Hasil kerja sehari, cukup untuk dimakan sehari. Kamu dan keluargamu tidak akan bisa makan jika tidak bekerja dulu. Hidupmu benar-benar akan seperti ayam, mengais dulu baru makan....” ujar lelaki tua itu dalam mimpi Putri Tangguk.

Putri Tangguk belum sempat berkata apa-apa, orang tua itu sudah menghilang. Ia terbangun dari tidurnya saat hari mulai siang. Ia sangat sedih merenungi semua ucapan orang tua yang datang dalam mimpinya semalam. Ia akan menjalani hidup bersama keluarganya dengan kesengsaraan. Ia sangat menyesali semua perbuatannya yang sombong dan takabbur dengan menyerakkan padi untuk pelapis jalan licin. Namun, apalah arti sebuah penyesalan. Menyesal kemudian tiadalah guna.



ditulis dari : Kaslani. Buku Cerita Rakyat Dari Jambi 2. Jakarta: Grasindo. 1998.

Aji Saka Cerita Rakyat Dari Jawa Timur

Aji Saka Cerita Rakyat Dari Jawa Timur

Pada jaman dahulu, di Pulau Majethi hidup seorang satria tampan bernama Ajisaka.Selain tampan, Ajisaka juga berilmu tinggi dan sakti mandraguna. Sang Satria mempunyai dua orang punggawa, Dora dan Sembada namanya. Kedua punggawa itu sangat setia kepada pemimpinnya, sama sekali tidak pernah mengabaikan perintahnya. Pada suatu hari, Ajisaka berkeinginan pergi berkelanan meninggalkan Pulau Majethi. Kepergiannya ditemani oleh punggawanya yang bernama Dora, sementara Sembada tetap tinggal di Pulau Pulo Majethi, diperintahkan menjaga pusaka andalannya. Ajisaka berpesan bahwa Sembada tidak boleh menyerahkan pusaka tersebut kepada siapapun kecuali kepada Ajisaka sendiri. Sembada menyanggupi akan melaksanakan perintahnya.

Ganti cerita, pada masa itu di tanah Jawa terdapat negara yang terkenal makmur, tertib, aman dan damai, yang bernama Medhangkamulan.Rajanya bernama Prabu Dewatacengkar, seorang raja yang luhur budinya serta bijaksana. Pada suatu hari, juru masak kerajaan mengalami kecelakaan, jarinya terbabat pisau hingga terlepas. Ki Juru Masak tidak menyadari bahwa potongan jarinya tercebur ke dalam hidangan yang akan disuguhkan kepada Sang Prabu. Ketika tanpa sengaja memakan potongan jari tersebut, Sang Prabu serasa menyantap daging yang sangat enak, sehingga ia mengutus Sang Patih untuk menanyai Ki Juru Masak. Setelah mengetahui bahwa yang disantap tadi adalah daging manusia, sang Prabu lalu memerintahkan Sang Patih agar setiap hari menghaturkan seorang dari rakyatnya untuk santapannya. Sejak saat itu Prabu Dewatacengkar mempunyai kegemaran yang menyeramkan, yaitu menyantap daging manusia. Wataknya berbalik seratus delapanpuluh derajat, berubah menjadi bengis dan senang menganiaya. Negara Medhangkamulan beubah menjadi wilayah yang angker dan sepi karena rakyatnya satu persatu dimangsa oleh rajanya, sisanya lari menyelamatkan diri. Sang Patih pusing memikirkan keadaan, karena sudah tidak ada lagi rakyat yang bisa dihaturkan kepada rajanya.

Pada saat itulah Ajisaka bersama punggawanya, Dora, tiba di Medhangkamulan. klawan punggawane, Dora, tumeka ing Medhangkamulan. Heranlah Sang Satria melihat keadaan yang sunyi dan menyeramkan itu, maka ia lalu mencari tahu penyebabnya. Setelah mendapat keterangan mengenai apa yang sedang terjadi di Medhangkamulan, Ajisaka lalu menghadap Rekyana Patih, menyatakan kesanggupannya untuk menjadi santapan Prabu Dewatacengkar. Pada awalnya Sang Patih tidak mengizinkan karena merasa sayang bila Ajisaka yang tampan dan masih muda harus disantap Sang Prabu, namun Ajisaka sudah bulat tekadnya, sehingga akhirnya iapun dibawa menghadap Sang Prabu. Sang Prabu tak habis pikir, mengapa orang yang sedemikian tampan dan masih muda mau menyerahkan jiwa raganya untuk menjadi santapannya. Ajisaka mengatakan bahwa ia rela dijadikan santapan sang Prabu asalakan ia dihadiahi tanah seluas ikat kepala yang dikenakannya. Di samping itu, harus Sang rabu sendiri yang mengukur wilayah yang akan dihadiahkan tersebut. Sang Prabu menyanggupi permintaannya. Ajisaka kemudian mempersilakan Sang Prabu menarik ujung ikat kepalanya. Sungguh ajaib, ikat kepala itu seakan tak ada habisnya. Sang Prabu Dewatacengkar terpaksa semakin mundur dan semakin mundur, sehingga akhirnya tiba ditepi laut selatan. Ikat kepala tersebut kemudian dikibaskan oleh Ajisaka sehingga Sang Prabu terlempar jatuh ke laut. Seketika wujudnya berubah menjadi buaya putih. Ajisaka kemudian menjadi raja di Medhangkamulan.

Setelah dinobatkan menjadi raja Medhangkamulan, Ajisaka mengutus Dora pergi kembali ke Pulo Majethi menggambil pusaka yang dijaga oleh Sembada. Setibanya di Pulo Majethi, Dora menemui Sembada dan menjelaskan bahwa ia diperintahkan untuk mengambil pusaka Ajisaka. Sembada tidak mau memberikan pusaka tersebut karena ia berpegang pada perintah Ajisaka ketika meninggalkan Majethi. Sembada yang juga melaksanakan perintah Sang Prabu memaksa meminta agar pusaka tersebut diberikan kepadanya. Akhirnya kedua punggawa itu bertempur. Karena keduanya sama-sama sakti, peperangan berlangsung seru, saling menyerang dan diserang, sampai keduanya sama-sama tewas.

Kabar mengenai tewasnya Dora dan Sembada terdengar oleh Sang Prabu Ajisaka. Ia sangat menyesal mengingat kesetiaan kedua punggawa kesayangannya itu. Kesedihannya mendorongnya untuk menciptakan aksara untuk mengabadikan kedua orang yang dikasihinya itu.


Ha Na Ca Ra Ka
Ana utusan (ada utusan)
Da Ta Sa Wa La
Padha kekerengan (saling berselisih pendapat)
Pa Dha Ja Ya Nya
Padha digdayané (sama-sama sakti)
Ma Ga Ba Tha Nga
Padha dadi bathangé (sama-sama mejadi mayat)

Asal Usul Lintah Cerita Rakyat Dari Nusa Tenggara Barat


Alkisah, hiduplah sebuah keluarga dengan seorang anak lelakinya bernama I Karma. Setiap fajar menyingsing, Pan Karma (ayah I Karma) dan I Karma selalu pergi ke ladang mereka yang letaknya di tepi sebuah hutan. Sesampai di ladang, keduanya berpisah. Pan Karma langsung mengambil cangkul dan mulai mencangkul ladangnya, sedangkan I Karma meneruskan perjalanannya ke dalam hutan untuk mencari kayu bakar. Setelah siang, I Karma akan kembali ke ladang untuk makan siang yang dibawa oleh Men Karma (ibu I Karma). Apabila hari telah sore, mereka pun pulang. Begitulah kegiatan keluarga itu setiap harinya.

Setelah tanaman ladang yang berupa padi ladang berumur empat bulan, maka tibalah waktu untuk mengetam. Men Karma yang selalu menghitung hari sejak padi mulai ditanam hingga telah berumur empat bulan pun bertanya kepada suaminya, “Pak, kapankah kita akan mulai mengetam?”

“Dua hari lagi,” jawab Pan Karma.

Dua hari kemudian, sebelum fajar menyingsing, Men Karma telah sibuk di dapur mempersiapkan bekal untuk bekerja di ladang. Setelah semuanya siap, berangkatlah mereka ke ladang. Sesampainya di ladang, Men Karma, Pan Karma dan I Karma mulai mengetam padi. Namun hingga hari telah senja, ternyata pekerjaan itu belum selesai. Oleh karena itu, Pan Karma bersama isteri dan anaknya memutuskan untuk bermalam di pondok yang ada di ladang itu. Tidak berapa lama kemudian, karena terlalu lelah, mereka pun telah tertidur lelap.

Saat tengah malam, ketika sedang tidur lelap, Pan Karma didatangi oleh seorang kakek. Ia dibangunkan dan disuruh duduk di depan kakek itu. Setelah itu, si kakek berkata, “Nah, Pan Karma, terimalah pemberianku ini yang berupa sebotol minyak untuk menjaga rumah. Gantungkanlah di atap rumahmu. Minyak itu dijaga oleh seorang perempuan.” Setelah mengucapkan kata-kata dan memberikan sebotol minyak, kakek itu lenyap dengan tiba-tiba.

Keesokan harinya, pekerjaan menyekam padi dilanjutkan kembali. Setelah selesai, mereka bersiap-siap untuk membawa padi itu pulang. Sebelum berangkat mereka pun beristirahat. Sambil beristirahat Pan Karma menceritakan pengalamannya semalam kepada isterinya, “Men Karma, semalam aku memperoleh anugerah dari seorang kakek berupa botol minyak untuk menjaga rumah. Kakek itu mengatakan bahwa minyak ini hendaklah dipelihara baik-baik dan digantungkan di atap rumah kita.”

“O, baik benar kakek itu. Hendaklah kita simpan minyak itu dengan baik, agar dapat diwariskan kepada anak ataupun keturunan kita selanjutnya,” kata Men Karma.

Setelah agak sore, mereka pun berangkat pulang. Dan setiba di rumah, Men Karma dan I Karma segera memasukkan padi mereka ke lumbung yang ada di samping rumang. Sedangkan Pan Karma segera masuk ke dalam rumah untuk menggantungkan minyak itu di atap rumah. Setelah menggantung minyak pemberian si kakek, ia keluar dan ikut membantu isteri dan anaknya memasukkan padi ke lumbung.

Demikianlah kehidupan mereka. Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan dan tahun pun berganti tahun. Suatu ketika, Pan Karma akhirnya meninggal dunia. Dan, tidak berapa lama kemudian Men Karma pun ikut meninggal dunia.

Sebelum Men Karma meninggal, ia sempat berpesan kepada anaknya, “Anakku, kukira umurku sudah tak lama lagi. Ada suatu hal yang harus ibu wasiatkan kepadamu. Bila ibu sudah tiada lagi, ingatlah pesanku ini. Ayahmu meninggalkan sebotol minyak dan digantung pada atap rumah. Simpanlah minyak itu baik-baik. Ia akan menemanimu menempati rumah ini, bila ibu sudah tiada lagi.”

“Minyak apakah itu ibu?” tanya I Karma.

“Bila nanti ibu meninggal, di sanalah saatnya kau mengetahui isi botol itu.”

Setelah memberikan penjelasan seperti itu, beberapa hari kemudian Men Karma pun meninggal dunia.

Setelah kedua orang tua I Karma meninggal dunia, I Karma semakin giat bekerja di ladang. Pagi-pagi benar ia telah berada di ladang, dan bila hari sudah mulai senja ia pun pulang. Begitulah hari demi hari dijalani oleh I Karma, sampai suatu ketika, setelah tiba di rumah, ia menjumpai hidangan yang telah siap untuk dimakan, lengkap dengan nasi dan lauk pauknya.

Melihat hidangan lezat itu, I Karma pun berpikir, “Siapakah yang mempersiapkan hidangan ini? Kelihatannya sangat istimewa. Siapakah yang mempersiapkannya? Ah, sebaiknya kumakan saja apa yang ada, bukankah ini rumahku?”

Keesokan harinya, seperti biasa, pergilah I Karma ke ladang lagi. Dan bila senja telah tiba ia pun pulang. Setelah tiba di rumah ia merasa sangat heran. Semua peralatan kotor yang ditinggalkannya telah bersih dan teratur rapi. Dan, sebelum ia sempat berpikir, telah dilihatnya pula hidangan yang lengkap tersedia untuk dimakan. Ia pun berpikir dalam hati, “Siapa yang menyediakan hidangan ini. Ah, lebih baik besok akan kuintip, agar kutahu siapa sebenarnya yang mempersiapkan hidangan ini.”

Demikianlah, keesokan harinya I Karma bersiap-siap untuk ke ladang. Tetapi setelah sampai di tengah perjalanan ia segera kembali pulang untuk mengetahui siapa sebenarnya yang mempersiapkan hidangan itu. Setelah di rumah ia mulai mengintip. Dan ia sangat terkejut ketika di dapur melihat seorang perempuan cantik sedang sibuk memasak. Kemudian I Karma perlahan-lahan mendekatinya dan tiba-tiba menangkap pinggang perempuan cantik itu.

Terasa ada sentuhan di badannya, wanita itu terkejut sambil melirik dan segera bertanya dengan suara lembut, “Siapakah yang berani memegang tubuhku?”

“Aku, I Karma.”

“Tolong lepaskan aku.”

“Aku tak mau melepaskanmu. Siapakah kau sebenarnya?”

“Aku bernama Ni Utami.”

“Apabila aku lepaskan, apakau kau akan meninggalkan aku?”

“O, tidak. Aku tak akan meninggalkan engkau. Aku selalu sedia melayanimu, karena engkau sudah memergoki aku.”

“Jadi kau bersedia menemani aku. Benarkah katamu itu? Aku sangat berterima kasih padamu.”

“Ya, benar. Aku berjanji untuk mendampingimu. Tetapi ingatlah. Bila aku sudah mendampingimu, tidakkah kau berniat memperisteriku?”

“Jika mungkin, aku memang akan mengharapkan agar engkau bersedia berumah tangga dengan aku.”

“Ya, baiklah. Aku bersedia. Tetapi ingatlah. Bila aku telah mempunyai seorang anak, berhati-hatilah menjagaku serta menjaga anakku. Demikianlah permintaanku kepadamu. Tepatilah sungguh-sungguh.”

“Baiklah. Aku akan selalu mentaati apa yang telah kau katakan itu.”

Singkat cerita, I Karma dan Ni Utami pun menikah dan beberapa tahun kemudian mereka mempunyai seorang anak.

Pada suatu hari, I Karma teringat akan wasiat ibunya mengenai botol minyak yang digantung di atap rumahnya. I Karma kemudian naik ke atap rumah dan mengambil botol tersebut. Namun isi di dalam botol itu telah tiada, sehingga I Karma bertanya kepada isterinya, “Mengapa botol minyak itu kosong? Adakah kau pergunakan isinya?”

“Tak ada. Aku tak pernah mempergunakan minyak. Tidakkah botol itu memang kosong?”

“Ah, tak apa. Mungkin memang sudah menguap karena terkena panas,” jawab I Karma.

Setelah percakapan itu I Karma menuju ke ladang untuk menanam padi. Siang harinya datanglah Ni Utami bersama bayinya ke ladang mengantarkan makan siang. Saat bertemu I Karma, sambil menggendong bayinya Ni Utami berkata, “Istirahatlah dulu. Aku mengantarkan hidangan untukmu.”

“Baiklah. Tunggulah sebentar. Aku hendak menyelesaikan pekerjaan ini,” jawab I Karma.

“Nanti disambung lagi, hari sangat terik,” kata Ni Utami.

I Karma tidak menghiraukan kata-kata isterinya, ia tetap bekerja. Beberapa saat kemudian, karena haus I Karma menyuruh isterinya mengambil air pada sebuah mata air yang letaknya agak jauh dari ladang mereka.

Mula-mula isterinya menolak, “Janganlah aku disuruh mengambil air. Hari amat panas. Aku tidak tahan kepanasan.”

“Kalau kau tak tahan mengapa datang ke mari. Lebih baik pulanglah. Bukankah kau tahu di ladang memang panas,” kata suaminya bernada marah dan mendesaknya terus untuk segera pergi mengambil air.

Karena tak tahan oleh desakan itu, akhirnya Ni Utami berangkat menuju ke mata air, sambil meninggalkan pesan, “Baiklah, aku akan pergi. Tetapi kau akan menyesal.”

Selanjutnya, Ni Utami berangkat menyusuri pematang menuju ke sebuah mata air. Jalannya sempoyongan dan tiba-tiba tersungkur jatuh ke mata air. Saat jatuh itu badannya hancur, meleleh terpencar di atas permukaan air. Ni Utama sebenarnya adalah penunggu botol minyak yang diberikan oleh si kakek misterius kepada Pan Karma sewaktu bermalam di ladang. Jadi, tubuh Ni Utami meleleh karena ia memang berasal dari minyak kelapa.

Karena telah lama ditinggalkan di ladang bersama ayahnya, anak Ni Utami merasa haus dan mulai menangis. I Karma terkejut melihat anaknya menangis. Karena tak tahan mendengar tangisan, ia pun mengambil anak tersebut serta memanggil isterinya, “Utami, Utami. Di manakah kau. Lama benar kau pergi.”

Namun, karena panggilan tersebut tidak juga dijawab oleh Ni Utami, I Karma lalu berangkat menyusul isterinya. Saat sampai di dekat mata air, tiba-tiba ia terkejut melihat minyak kelapa terpencar di atas permukaan air. Dan, teringatlah ia akan wasiat ibunya sebelum meninggal, bahwa ayahnya meninggalkan minyak di dalam botol. Ia baru sadar bahwa minyak yang dirawiskan oleh ayahnya itulah yang menjelma menjadi isterinya. I Karma merasa menyesal menyuruh isterinya mengambil air pada saat sinar matahari sedang panas menyengat.

Sementara itu, anak yang digendongnya terus saja menangis tak henti-hentinya. Segala usaha untuk membuatnya berhenti menangis tidak berhasil. I Karma tiba-tiba naik darah. Ia lupa akan dirinya. Dengan cepat dijangkaunya parang yang ada dipinggangnya, dan langsung mencincang bayi itu. Setelah itu lapanglah dada I Karma.

Beberapa bulan kemudian, karena merasa kesepian ditinggal anak dan isterinya, I Karma menikah lagi. Singkat cerita, setelah sekian lama menikah mereka belum juga dikaruniai seorang anak. Suatu hari, ketika sedang berada di kamar mereka, isterinya berkata, “Suamiku, mengapa kita tak bisa mempunyai anak. Aku sangat menginginkannya.”

“Jika demikian, marilah kita pergi memohon kepada Tuhan di tempat-tempat suci. Semoga kita berhasil memperoleh anak,” jawab I Karma.

“Baiklah, aku akan membuat canang genten (sejenis sesajen). Untuk sesajen di tempat suci. Semoga Tuhan memberkahi kita,” kata isterinya.

Setelah semuanya selesai, esok paginya berangkatlah mereka menuju ke sebuah tempat suci untuk memohon seorang anak. Sebelum sampai di tempat suci yang dituju, di tengah jalan bertemulah mereka dengan seorang bayi yang sedang menangis keras karena ingin menyusu.

“Suamiku, mengapa ada bayi menangis di selokan itu seorang diri. Lebih baik kita ambil dan kita bawa pulang. Rupanya permohonan kita telah terkabul.”

“Baiklah, ambil dan bawa pulang anak itu,” kata suaminya.

Isterinya pun lalu mengambil dan menggendongnya. Setiba di rumah, anak itu dibaringkan di kamar tidur. Isteri I Karma kemudian ke dapur untuk mempersiapkan makan malam. Saat menunggu makanan siap, I Karma merasa mengantuk dan ia langsung masuk ke kamar, berbaring di samping bayi yang baru ditemukannya itu. Akhirnya I Karma tertidur lelap.

Saat I Karma tertidur lelap, bayi pungutnya itu terbangun karena haus. Ia kemudian merayap mendekati puting susu I Karma. Namun, secara tiba-tiba, bayi tersebut berubah menjadi lintah sebesan bantal dan langsung menghisap darah lewat puting susu I Karma. Dan, tidak berapa lama kemudian, I Karma meninggal karena darahnya habis dihisap oleh lintah tersebut.

Itulah cerita tentang asal usul adanya lintah, yang merupakan penjelmaan seorang bayi setelah dicincang oleh ayahnya sendiri dan dilemparkan ke berbagai penjuru. Daging anak tersebut berubah menjadi lintah. Daging bayi yang terlempar ke air menjelma menjadi lintah dan yang terlempar ke daun-daun menjelma menjadi lintah darat.



disadur dari :
Proyek Penerbitan dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. 1981. Cerita Rakyat Nusa Tenggara Barat. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

23 Feb 2013

Jayaprana Dan Layonsari Cerita Rakyat Dari Bali

Dua orang suami istri bertempat tinggal di Desa Kalianget mempunyai tiga orang anak, dua orang laki-laki dan seorang perempuan. Oleh karena ada wabah yang menimpa masyarakat desa itu, maka empat orang dari keluarga yang miskin ini meninggal dunia bersamaan. Tinggallah seorang laki-laki yang paling bungsu bernama I Jayaprana. Oleh karena orang yang terakhir ini keadaannya yatim piatu, maka ia pun memberanikan diri mengabdi di istana raja. Di istana, laki-laki itu sangat rajin, rajapun amat kasih sayang kepadanya.

Kini I Jayaprana baru berusia duabelas tahun. Ia sangat ganteng paras muka tampan dan senyumnya pun sangat manis menarik.

Beberapa tahun kemudian..................



Pada suatu hari raja menitahkan I Jayaprana, supaya memilih seorang dayang-dayang yang ada di dalam istana atau gadis gadis yang ada di luar istana. Mula-mula I Jayaprana menolak titah baginda, dengan alasan bahwa dirinya masih kanak-kanak. Tetapi karena dipaksa oleh raja akhirnya I Jayaprana menurutinya. Ia pun melancong ke pasar yang ada di depan istana hendak melihat-lihat gadis yang lalu lalang pergi ke pasar. Tiba-tiba ia melihat seorang gadis yang sangat cantik jelita. Gadis itu bernama Ni Layonsari, putra Jero Bendesa, berasal dari Banjar Sekar.

Melihat gadis yang elok itu, I Jayaprana sangat terpikat hatinya dan pandangan matanya terus membuntuti lenggang gadis itu ke pasar, sebaliknya Ni Layonsari pun sangat jatuh hati memandang pemuda ganteng yang sedang duduk-duduk di depan istana. Setelah gadis itu menyelinap di balik orang-orang yang ada di dalam pasar, maka I Jayaprana cepat-cepat kembali ke istana hendak melapor kehadapan Sri Baginda Raja. Laporan I Jayaprana diterima oleh baginda dan kemudian raja menulis sepucuk surat.

I Jayaprana dititahkan membawa sepucuk surat ke rumahnya Jero Bendesa. Tiada diceritakan di tengah jalan, maka I Jayaprana tiba di rumah Jero Bendesa. Ia menyerahkan surat yang dibawanya itu kepada Jero Bendesa dengan hormatnya. Jero Bendesa menerima terus langsung dibacanya dalam hati. Jero Bendesa sangat setuju apabila putrinya yaitu Ni Layonsari dikawinkan dengan I Jayaprana. Setelah ia menyampaikan isi hatinya “setuju” kepada I Jayaprana, lalu I Jayaprana memohon diri pulang kembali.

Di istana Raja sedang mengadakan sidang di pendopo. Tiba-tiba datanglah I Jayaprana menghadap pesanan Jero Bendesa kehadapan Sri Baginda Raja. Kemudian Raja mengumumkan pada sidang yang isinya antara lain: Bahwa nanti pada hari Selasa Legi wuku Kuningan, raja akan membuat upacara perkawinannya I Jayaprana dengan Ni Layonsari. Dari itu raja memerintahkan kepada segenap perbekel, supaya mulai mendirikan bangunan-bangunan rumah, balai-balai selengkapnya untuk I Jayaprana.

Menjelang hari perkawinannya semua bangunan-bangunan sudah selesai dikerjakan dengan secara gotong royong semuanya serba indah. Kini tiba hari upacara perkawinan I Jayaprana diiringi oleh masyarakat desanya, pergi ke rumahnya Jero Bendesa, hendak memohon Ni Layonsari dengan alat upacara selengkapnya. Sri Baginda Raja sedang duduk di atas singgasana dihadap oleh para pegawai raja dan para perbekel baginda. Kemudian datanglah rombongan I Jayaprana di depan istana. Kedua mempelai itu harus turun dari atas joli, terus langsung menyembah kehadapan Sri Baginda Raja dengan hormatnya. Melihat wajah Ni Layonsari, raja pun membisu tak dapat bersabda.

Setelah senja kedua mempelai itu lalu memohon diri akan kembal ke rumahnya meninggalkan sidang di paseban. Sepeninggal mereka itu, Sri Baginda lalu bersabda kepada para perbekel semuanya untuk meminta pertimbangan caranya memperdayakan I Jayaprana supaya ia mati. Istrinya yaitu Ni Layonsari akanmasuk ke istana untuk dijadikan permaisuri baginda. Dikatakan apabila Ni Layonsari tidak dapat diperistri maka baginda akan mati karena kesedihan.

Mendengar sabda itu salah seorang perbekel lalu tampak ke depan hendak mengetengahkan pertimbangan, yang isinya antara lain: agar Sri Paduka Raja menitahkan I Jayaprana bersama rombongan pergi ke Celuk Terima, untuk menyelidiki perahu yang hancur dan orang-orang Bajo menembak binatang yang ada di kawasan pengulan. Demikian isi pertimbangan salah seorang perbekel yang bernama I Saunggaling, yang telah disepakati oleh Sang Raja.

Sekarang tersebutlah I Jayaprana yang sangat berbahagia hidupnya bersama istrinya. Tetapi baru tujuh hari lamanya mereka berbulan madu, datanglah seorang utusan raja ke rumahnya, yang maksudnya memanggil I Jayaprana supaya menghadap ke paseban. I Jayaprana segera pergi ke paseban menghadap Sri P aduka Raja bersama perbekel sekalian. Di paseban mereka dititahkan supaya besok pagi-pagi ke Celuk Terima untuk menyelidiki adanya perahu kandas dan kekacauan-kekacauan lainnya. Setelah senja, sidang pun bubar. I Jayaprana pulang kembali ia disambut oleh istrinya yang sangat dicintainya itu. I Jayaprana menerangkan hasil-hasil rapat di paseban kepada istrinya.

Hari sudah malam Ni Layonsari bermimpi, rumahnya dihanyutkan banjir besar, ia pun bangkit dari tempat tidurnya seraya menerangkan isi impiannya yang sangat mengerikan itu kepada I Jayaprana. Ia meminta agar keberangkatannya besok dibatalkan berdasarkan alamat-alamat impiannya. Tetapi I Jayaprana tidak berani menolak perintah raja. Dikatakan bahwa kematian itu terletak di tangan Tuhan Yang Maha Esa. Pagi-pagi I Jayaprana bersama rombongan berangkat ke Celuk Terima, meninggalkan Ni Layonsari di rumahnya dalam kesedihan. Dalam perjalanan rombongan itu, I Jayaprana sering kali mendapat alamat yang buruk-buruk. Akhirnya mereka tiba di hutan Celuk Terima. I Jayaprana sudah merasa dirinya akan dibunuh. Kemudian I Saunggaling berkata kepada I Jayaprana sambil menyerahkan sepucuk surat.

I Jayaprana menerima surat itu terus langsung dibaca dalam hati isinya:
“ Hai engkau Jayaprana
Manusia tiada berguna
Berjalan berjalanlah engkau
Akulah menyuruh membunuh kau

Dosamu sangat besar
Kau melampaui tingkah raja
Istrimu sungguh milik orang besar
Kuambil kujadikan istri raja

Serahkanlah jiwamu sekarang
Jangan engkau melawan
Layonsari jangan kau kenang
Kuperistri hingga akhir jaman.”

Demikianlah isi surat Sri Baginda Raja kepada I Jayaprana. Setelah I Jayaprana membaca surat itu lalu ia pun menangis tersedu-sedu sambil meratap. “Yah, oleh karena sudah dari titah baginda, hamba tiada menolak. Sungguh semula baginda menanam dan memelihara hambat tetapi kini baginda ingin mencabutnya, yah silakan. Hamba rela dibunuh demi kepentingan baginda, meski pun hamba tiada berdosa. Demikian ratapnya I Jayaprana seraya mencucurkan air mata. Selanjutnya I Jayaprana meminta kepada I Saunggaling supaya segera bersiap-siap menikamnya. Setelah I Saunggaling mempermaklumkan kepada I Jayaprana bahwa ia menuruti apa yang dititahkan oleh raja dengan hati yang berat dan sedih ia menancapkan kerisnya pada lambung kirinya I Jayaprana. Darah menyembur harum semerbak baunya bersamaan dengan alamat yang aneh-aneh di angkasa dan di bumi seperti: gempa bumi, angin topan, hujan bunga, teja membangun dan sebagainya.

Setelah mayat I Jayaprana itu dikubur, maka seluruh perbekel kembali pulang dengan perasaan sangat sedih. Di tengah jalan mereka sering mendapat bahaya maut. Di antara perbekel itu banyak yang mati. Ada yang mati karena diterkam harimau, ada juga dipagut ular. Berita tentang terbunuhnya I Jayaprana itu telah didengar oleh istrinya yaitu Ni Layonsari. Dari itu ia segera menghunus keris dan menikan dirinya. Demikianlah isi singkat cerita dua orang muda mudi itu yang baru saja berbulan madu atas cinta murninya akan tetapi mendapat halangan dari seorang raja dan akhirnya bersama-sama meninggal dunia.

Timun Emas Cerita Rakyat Dari Jawa Tengah

Timun Emas Cerita Rakyat Dari Jawa Tengah

Di suatu desa hiduplah seorang janda tua yang bernama mbok Sarni. Tiap hari dia menghabiskan waktunya sendirian, karena mbok Sarni tidak memiliki seorang anak. Sebenarnya dia ingin sekali mempunyai anak, agar bisa membantunya bekerja.

Pada suatu sore pergilah mbok Sarni ke hutan untuk mencari kayu, dan ditengah jalan mbok Sarni bertemu dengan raksasa yang sangat besar sekali. “Hei, mau kemana kamu?”, tanya si Raksasa. “Aku hanya mau mengumpulkan kayu bakar, jadi ijinkanlah aku lewat”, jawab mbok Sarni. “Hahahaha.... kamu boleh lewat setelah kamu memberiku seorang anak manusia untuk aku santap”, kata si Raksasa. Lalu mbok Sarni menjawab, “Tetapi aku tidak mempunyai anak”.

Setelah mbok Sarni mengatakan bahwa dia tidak punya anak dan ingin sekali punya anak, maka si Raksasa memberinya biji mentimun. Raksasa itu berkata, “Wahai wanita tua, ini aku berikan kamu biji mentimun. Tanamlah biji ini di halaman rumahmu, dan setelah dua minggu kamu akan mendapatkan seorang anak. Tetapi ingat, serahkan anak itu padaku setelah usianya enam tahun”.

Setelah dua minggu, mentimun itu nampak berbuah sangat lebat dan ada salah satu mentimun yang cukup besar. Mbok Sarni kemudian mengambilnya , dan setelah dibelah ternyata isinya adalah seorang bayi yang sangat cantik jelita. Bayi itu kemudian diberi nama timun emas.

Semakin hari timun emas semakin tumbuh besar, dan mbok Sarni sangat gembira sekali karena rumahnya tidak sepi lagi. Semua pekerjaannya bisa selesai dengan cepat karena bantuan timun emas.

Akhirnya pada suatu hari datanglah si Raksasa untuk menagih janji. Mbok Sarni sangat ketakutan, dan tidak mau kehilangan timun emas. Kemudian mbok Sarni berkata, “Wahai raksasa, datanglah kesini dua tahun lagi. Semakin dewasa anak ini, maka semakin enak untuk di santap”. Si Raksasa pun setuju dan meninggalkan rumah mbok Sarni.

Waktu dua tahun bukanlah waktu yang lama, karena itu tiap hari mbok Sarni mencari akal bagaimana caranya supaya anaknya tidak dibawa si Raksasa. Hati mbok Sarni sangat cemas sekali, dan akhirnya pada suatu malam mbok Sarni bermimpi. Dalam mimpinya itu, ia diberitahu agar timun emas menemui petapa di Gunung.

Pagi harinya mbok Sarni menyuruh timun emas untuk segera menemui petapa itu. Setelah bertemu dengan petapa, timun emas kemudian bercerita tentang maksud kedatangannya. Sang petapa kemudian memberinya empat buah bungkusan kecil yang isinya biji mentimun, jarum, garam, dan terasi. “Lemparkan satu per satu bungkusan ini, kalau kamu dikejar oleh raksasa itu”, perintah petapa. Kemudian timun meas pulang ke rumah, dan langsung menyimpan bungkusan dari sang petapa.

Paginya raksasa datang lagi untuk menagih janji. “Wahai wanita tua, mana anak itu? Aku sudah tidak tahan untuk menyantapnya”, teriak si Raksasa. Kemudian mbok Sarni menjawab, “Janganlah kau ambil anakku ini wahai raksasa, karena aku sangat sayang padanya. Lebih baik aku saja yang kamu santap”. Raksasa tidak mau menerima tawaran dari mbok Sarni itu, dan akhirnya marah besar. “Mana anak itu? Mana timun emas?”, teriak si raksasa. Karena tidak tega melihat mbok Sarni menangis terus, maka timun emas keluar dari tempat sembunyinya. “Aku di sini raksasa, tangkaplah aku jika kau bisa!!!”, teriak timun emas. Raksasapun mengejarnya, dan timun emas mulai melemparkan kantong yang berisi mentimun. Sungguh ajaib, hutan menjadi ladang mentimun yang lebat buahnya. Raksasapun menjadi terhambat, karena batang timun tersebut terus melilit tubuhnya. Tetapi akhirnya si raksasa berhasil bebas juga, dan mulai mngejar timun emas lagi. Lalu timun emas menaburkan kantong kedua yang berisi jarum, dalam sekejap tumbuhlan pohon-pohon bambu yang sangat tinggi dan tajam. Dengan kaki yang berdarah-darah karena tertancap bambu tersebut si raksasa terus mengejar. Kemudian timun emas membuka bingkisan ketiga yang berisi garam. Seketika itu hutanpun menjadi lautan luas. Tetapi lautan itu dengan mudah dilalui si raksasa. Yang terakhir Timun Emas akhirnya menaburkan terasi, seketika itu terbentuklah lautan lumpur yang mendidih, dan si raksasa tercebur di dalamnya. Akhirnya raksasapun mati. Timun Emas mengucap syukur kepada Tuhan YME, karena sudah diselamatkan dari raksasa yang kejam. Akhirnya Timun Emas dan Mbok Sarni hidup bahagia dan damai.

Putri Kaca Mayang Cerita Rakyat Dari Riau

Putri Kaca Mayang Cerita Rakyat Dari Riau

Alkisah, pada zaman dahulu kala, di tepi Sungai Siak berdirilah sebuah kerajaan yang bernama Gasib. Kerajaan ini sangat terkenal, karena mempunyai seorang panglima yang gagah perkasa dan disegani, Panglima Gimpam namanya. Selama ia menjadi penglima Kerajaan Gasib, tiada satu pun kerajaan lain yang dapat menaklukkannya.

Selain itu, Kerajaan Gasib juga mempunyai seorang putri yang kecantikannya sudah masyhur sampai ke berbagai negeri, Putri Kaca Mayang namanya. Meskipun demikian, tak seorang raja pun yang berani meminangnya. Mereka merasa segan meminang sang Putri, karena Raja Gasib terkenal mempunyai Panglima Gimpam yang gagah berani itu.

Pada suatu hari, Raja Aceh memberanikan dirinya meminang Putri Kaca Mayang. Ia pun mengutus dua orang panglimanya untuk menyampaikan maksud pinangannya kepada Raja Gasib.

Sesampainya di hadapan Raja Gasib, kedua panglima itu kemudian menyampaikan maksud kedatangan mereka. “Ampun, Baginda! Kami adalah utusan Raja Aceh. Maksud kedatangan kami adalah untuk menyampaikan pinangan raja kami,” lapor seorang utusan.

“Benar, Baginda! Raja kami bermaksud meminang Putri Baginda yang bernama Putri Kaca Mayang,” tambah utusan yang satunya.

“Maaf, Utusan! Putriku belum bersedia untuk menikah. Sampaikan permohonan maaf kami kepada raja kalian,” jawab Raja Gasib dengan penuh wibawa. Mendengar jawaban itu, kedua utusan tersebut bergegas kembali ke Aceh dengan perasaan kesal dan kecewa.

Di hadapan Raja Aceh, kedua utusan itu melaporkan tentang penolakan Raja Gasib. Raja Aceh sangat kecewa dan merasa terhina mendengar laporan itu. Ia sangat marah dan berniat untuk menyerang Kerajaan Gasib.

Sementara itu, Raja Gasib telah mempersiapkan pasukan perang kerajaan untuk menghadapi serangan yang mungkin terjadi, karena ia sangat mengenal sifat Raja Aceh yang angkuh itu. Panglima Gimpam memimpin penjagaan di Kuala Gasib, yaitu daerah di sekitar Sungai Siak.

Rupanya segala persiapan Kerajaan Gasib diketahui oleh Kerajaan Aceh. Melalui seorang mata-matanya, Raja Aceh mengetahui Panglima Gimpam yang gagah perkasa itu berada di Kuala Gasib. Oleh sebab itu, Raja Aceh dan pasukannya mencari jalan lain untuk masuk ke negeri Gasib. Maka dibujuknya seorang penduduk Gasib menjadi penunjuk jalan.

“Hai, orang muda! Apakah kamu penduduk negeri ini?" tanya pengawal Raja Aceh kepada seorang penduduk Gasib.

“Benar, Tuan!” jawab pemuda itu singkat.

“Jika begitu, tunjukkan kepada kami jalan darat menuju negeri Gasib!” desak pengawal itu.

Karena mengetahui pasukan yang dilengkapi dengan senjata itu akan menyerang negeri Gasib, pemuda itu menolak untuk menunjukkan mereka jalan menuju ke Gasib. Ia tidak ingin menghianati negerinya.

“Maaf, Tuan! Sebenarnya saya tidak tahu seluk-beluk negeri ini,” jawab pemuda itu. Merasa dibohongi, pengawal Raja Aceh tiba-tiba menghajar pemuda itu hingga babak belur. Karena tidak tahan dengan siksaan yang diterimanya, pemuda itu terpaksa memberi petunjuk jalan darat menuju ke arah Gasib.

Berkat petunjuk pemuda itu, maka sampailah prajurit Aceh di negeri Gasib tanpa sepengetahuan Panglima Gimpam dan anak buahnya. Pada saat prajurit Aceh memasuki negeri Gasib, mereka mulai menyerang penduduk. Raja Gasib yang sedang bercengkerama dengan keluarga istana tidak mengetahui jika musuhnya telah memporak-porandakan kampung dan penduduknya. Ketika prajurit Aceh menyerbu halaman istana, barulah Raja Gasib sadar, namun perintah untuk melawan sudah terlambat. Semua pengawal yang tidak sempat mengadakan perlawanan telah tewas di ujung rencong (senjata khas Aceh) prajurit Aceh. Dalam sekejap, istana berhasil dikuasai oleh prajurit Aceh. Raja Gasib tidak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya bisa menyaksikan para pengawalnya tewas satu-persatu dibantai oleh prajurit Aceh. Putri Kaca Mayang yang cantik jelita itu pun berhasil mereka bawa lari.

Panglima Gimpam yang mendapat laporan bahwa istana telah dikuasai prajurit Aceh, ia bersama pasukannya segera kembali ke istana. Ia melihat mayat-mayat bergelimpangan bersimbah darah. Panglima Gimpam sangat marah dan bersumpah untuk membalas kekalahan Kerajaan Gasib dan berjanji akan membawa kembali Putri Kaca Mayang ke istana.

Pada saat itu pula Panglima Gimpam berangkat ke Aceh untuk menunaikan sumpahnya. Dengan kesaktiannya, tak berapa lama sampailah Panglima Gimpam di Aceh. Prajurit Aceh telah mempersiapkan diri menyambut kedatangannya. Mereka telah menyiapkan dua ekor gajah yang besar untuk menghadang Panglima Gimpam di gerbang istana. Ketika Panglima Gimpam tiba di gerbang istana, ia melompat ke punggung gajah besar itu. Dengan kesaktian dan keberaniannya, dibawanya kedua gajah yang telah dijinakkan itu ke istana untuk diserahkan kepada Raja Aceh.

Raja Aceh sangat terkejut dan takjub melihat keberanian dan kesaktian Panglima Gimpam menjinakkan gajah yang telah dipersiapkan untuk membunuhnya. Akhirnya Raja Aceh mengakui kesaktian Panglima Gimpam dan diserahkannya Putri Kaca Mayang untuk dibawa kembali ke istana Gasib.

Setelah itu, Panglima Gimpam segera membawa Putri Kaca Mayang yang sedang sakit itu ke Gasib. Dalam perjalanan pulang, penyakit sang Putri semakin parah. Angin yang begitu kencang membuat sang Putri susah untuk bernapas. Sesampainya di Sungai Kuantan, Putri Kaca Mayang meminta kepada Panglima Gimpam untuk berhenti sejenak.

“Panglima! Aku sudah tidak kuat lagi menahan sakit ini. Tolong sampaikan salam dan permohonan maafku kepada keluargaku di istina Gasib,” ucap sang Putri dengan suara serak. Belum sempat Panglima Gimpam berkata apa-apa, sang Putri pun menghembuskan nafas terakhirnya. Panglima Gimpam merasa bersalah sekali, karena ia tidak berhasil membawa sang Putri ke istana dalam keadaan hidup. Dengan diliputi rasa duka yang mendalam, Panglima Gimpam melanjutkan perjalanannya dengan membawa jenazah Putri Kaca Mayang ke hadapan Raja Gasib.

Sesampainya di istana Gasib, kedatangan Panglima Gimpam yang membawa jenazah sang Putri itu disambut oleh keluarga istana dengan perasaan sedih. Seluruh istana dan penduduk negeri Gasib ikut berkabung. Tanpa menunggu lama-lama, jenazah Putri Kaca Mayang segera dimakamkan di Gasib. Sejak kehilangan putrinya, Raja Gasib sangat sedih dan kesepian. Semakin hari kesedihan Raja Gasib semakin dalam. Untuk menghilangkan bayangan putri yang amat dicintainya itu, Raja Gasib memutuskan untuk meninggalkan istana dan menyepi ke Gunung Ledang, Malaka.

Untuk sementara waktu, pemerintahan kerajaan Gasib dipegang oleh Panglima Gimpam. Namun, tak berapa lama, Panglima Gimpam pun berniat untuk meninggalkan kerajaan itu. Sifatnya yang setia, membuat Panglima Gimpam tidak ingin menikmati kesenangan di atas kesedihan dan penderitaan orang lain. Ia pun tidak mau mengambil milik orang lain walaupun kesempatan itu ada di depannya.

Akhirnya, atas kehendaknya sendiri, Panglima Gimpam berangkat meninggalkan Gasib dan membuka sebuah perkampungan baru, yang dinamakan Pekanbaru. Hingga kini, nama itu dipakai untuk menyebut nama ibukota Provinsi Riau yaitu Kota Pekanbaru. Sementara, makam Panglima Gimpam masih dapat kita saksikan di Hulu Sail, sekitar 20 km dari kota Pekanbaru.


Diringkas dari Puteri Kaca Mayang: Asal-Mula Kota Pekanbaru.  
Effendy, Tenas. 2006. Tunjuk Ajar Melayu.  

Malin Kundang Cerita Rakyat Dari Sumatera Barat

Malin Kundang Cerita Rakyat Dari Sumatera Barat

Pada suatu hari, hiduplah sebuah keluarga di pesisir pantai wilayah Sumatra. Keluarga itu mempunyai seorang anak yang diberi nama Malin Kundang. Karena kondisi keluarga mereka sangat memprihatinkan, maka ayah malin memutuskan untuk pergi ke negeri seberang.

Besar harapan malin dan ibunya, suatu hari nanti ayahnya pulang dengan membawa uang banyak yang nantinya dapat untuk membeli keperluan sehari-hari. Setelah berbulan-bulan lamanya ternyata ayah malin tidak kunjung datang, dan akhirnya pupuslah harapan Malin Kundang dan ibunya.

Setelah Malin Kundang beranjak dewasa, ia berpikir untuk mencari nafkah di negeri seberang dengan harapan nantinya ketika kembali ke kampung halaman, ia sudah menjadi seorang yang kaya raya. Akhirnya Malin Kundang ikut berlayar bersama dengan seorang nahkoda kapal dagang di kampung halamannya yang sudah sukses.

Selama berada di kapal, Malin Kundang banyak belajar tentang ilmu pelayaran pada anak buah kapal yang sudah berpengalaman. Malin belajar dengan tekun tentang perkapalan pada teman-temannya yang lebih berpengalaman, dan akhirnya dia sangat mahir dalam hal perkapalan.

Banyak pulau sudah dikunjunginya, sampai dengan suatu hari di tengah perjalanan, tiba-tiba kapal yang dinaiki Malin Kundang di serang oleh bajak laut. Semua barang dagangan para pedagang yang berada di kapal dirampas oleh bajak laut. Bahkan sebagian besar awak kapal dan orang yang berada di kapal tersebut dibunuh oleh para bajak laut. Malin Kundang sangat beruntung dirinya tidak dibunuh oleh para bajak laut, karena ketika peristiwa itu terjadi, Malin segera bersembunyi di sebuah ruang kecil yang tertutup oleh kayu.

Malin Kundang terkatung-katung ditengah laut, hingga akhirnya kapal yang ditumpanginya terdampar di sebuah pantai. Dengan sisa tenaga yang ada, Malin Kundang berjalan menuju ke desa yang terdekat dari pantai. Sesampainya di desa tersebut, Malin Kundang ditolong oleh masyarakat di desa tersebut setelah sebelumnya menceritakan kejadian yang menimpanya. Desa tempat Malin terdampar adalah desa yang sangat subur. Dengan keuletan dan kegigihannya dalam bekerja, Malin lama kelamaan berhasil menjadi seorang yang kaya raya. Ia memiliki banyak kapal dagang dengan anak buah yang jumlahnya lebih dari 100 orang. Setelah menjadi kaya raya, Malin Kundang mempersunting seorang gadis untuk menjadi istrinya.

Setelah beberapa lama menikah, Malin dan istrinya melakukan pelayaran dengan kapal yang besar dan indah disertai anak buah kapal serta pengawalnya yang banyak. Ibu Malin Kundang yang setiap hari menunggui anaknya, melihat kapal yang sangat indah itu, masuk ke pelabuhan. Ia melihat ada dua orang yang sedang berdiri di atas geladak kapal. Ia yakin kalau yang sedang berdiri itu adalah anaknya Malin Kundang beserta istrinya.

Malin Kundang pun turun dari kapal. Ia disambut oleh ibunya. Setelah cukup dekat, ibunya melihat belas luka dilengan kanan orang tersebut, semakin yakinlah ibunya bahwa yang ia dekati adalah Malin Kundang. "Malin Kundang, anakku, mengapa kau pergi begitu lama tanpa mengirimkan kabar?", katanya sambil memeluk Malin Kundang. Tetapi Kundang segera melepaskan pelukan ibunya dan mendorongnya hingga terjatuh. "Wanita tak tahu diri, sembarangan saja mengaku sebagai ibuku", kata Malin Kundang pada ibunya. Malin Kundang pura-pura tidak mengenali ibunya, karena malu dengan ibunya yang sudah tua dan mengenakan baju compang-camping. "Wanita itu ibumu?", Tanya istri Malin Kundang. "Tidak, ia hanya seorang pengemis yang pura-pura mengaku sebagai ibuku agar mendapatkan harta ku", sahut Malin kepada istrinya. Mendengar pernyataan dan diperlakukan semena-mena oleh anaknya, ibu Malin Kundang sangat marah. Ia tidak menduga anaknya menjadi anak durhaka. Karena kemarahannya yang memuncak, ibu Malin menengadahkan tangannya sambil berkata "Oh Tuhan, kalau benar ia anakku, aku sumpahi dia menjadi sebuah batu". Tidak berapa lama kemudian angin bergemuruh kencang dan badai dahsyat datang menghancurkan kapal Malin Kundang. Setelah itu tubuh Malin Kundang perlahan menjadi kaku dan lama-kelamaan akhirnya berbentuk menjadi sebuah batu karang.

Sampai saat ini Batu Malin Kundang masih dapat dilihat di sebuah pantai bernama pantai Aia Manih, di selatan kota Padang, Sumatera Barat.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites