24 Feb 2013

Putri Tandampalik Cerita Rakyat Dari Sulawesi Selatan

Putri Tandampalik Cerita Rakyat Dari Sulawesi Selatan

Alkisah, pada  zaman dahulu kala, di sebuah daerah di Provinsi Sulawesi Selatan,  berdiri  sebuah kerajaan yang bernama Kerajaaan Luwu. Kerajaan ini  dipimpin oleh seorang  raja atau datu yang bernama La Busatana  Datu Maongge, atau sering  dipanggil Raja Luwu atau Datu Luwu. Ia adalah  seorang raja yang adil, arif dan  bijaksana, sehingga rakyatnya hidup  makmur dan sentosa. Datu Luwu mempunyai seorang  putri yang cantik  jelita dan berperangai baik, namanya Putri Tandampalik. Berita   kecantikan dan perangai baiknya tersebar sampai ke berbagai negeri di  Sulawesi  Selatan.

Pada  suatu hari, Raja Bone ingin  menikahkan putranya dengan Putri  Tandampalik. Ia pun mengutus beberapa pengawal  istana ke Kerajaan Luwu  untuk melamar sang Putri. Sesampainya di istana Luwu,  utusan tersebut  disambut dengan ramah oleh Datu Luwu. “Ampun, Baginda! Kami  adalah  utusan Raja Bone,” lapor seorang utusan sambil memberi hormat kepada   Datu Luwu. “Kalau boleh aku tahu, ada apa gerangan kalian diutus oleh  Raja  kalian ke istana kami?,” tanya Datu Luwu dengan penuh wibawa.  “Ampun, Baginda! Perkenankanlah  kami untuk menyampaikan lamaran Raja  Bone untuk putranya kepada putri Baginda  yang bernama Putri  Tandampalik,” jawab utusan itu memberi hormat.

Mendengar  lamaran itu, Datu Luwu  terdiam sejenak. Ia bingung untuk mengambil  keputusan, menerima atau menolaknya,  sebab dalam adat Kerajaan Luwu,  seorang gadis Luwu tidak dibenarkan menikah  dengan pemuda dari negeri  lain. Akan tetapi, jika lamaran itu ditolak, ia  khawatir akan terjadi  perang yang sangat dahsyat antara dua kerajaan, sehingga  membuat rakyat  menderita. Setelah beberapa saat berpikir, Datu Luwu masih  kebingungan  untuk memberikan jawaban. “Wahai, Utusan! Perlu kalian ketahui, bahwa   di Kerajaan Luwu ini berlaku sebuah hukum adat, yaitu seorang putri  Luwuk tidak  boleh menikah dengan pemuda dari negeri lain. Untuk itu,  tolong sampaikan  kepada raja kalian, supaya aku diberi waktu beberapa  hari untuk memikirkan  lamarannya tersebut,” ujar Datu Luwu. Utusan Raja  Bone memahami dan mengerti  keputusan Datu Luwu. Mereka pun kembali ke  Kerajaan Bone untuk menyampaikan berita  tersebut kepada Raja Bone.

Keesokan  harinya, tiba-tiba negeri Luwu geger. Putri Tandampalik terserang penyakit  kusta. Sekujur   tubuhnya mengeluarkan cairan kental yang berbau anyir dan sangat  menjijikkan.  Para tabib istana mengatakan bahwa Putri Tandampalik  terserang penyakit menular  yang sangat berbahaya. Berita  tentang musibah yang menimpa sang Putri  sudah tersebar ke seluruh  negeri. Rakyat negeri Luwu sangat bersedih atas  penyakit yang diderita  oleh sang Putri yang mereka cintai itu. Setelah berpikir  dan  menimbang-nimbang, Datu Luwu memutuskan untuk mengasingkan putrinya ke   suatu tempat yang jauh. Ia   khawatir penyakit putrinya akan menular ke seluruh rakyatnya.  “Putriku! Demi  keselamatan seluruh rakyat di negeri ini, relakah engkau  jika Ayah mengasingkanmu  ke daerah lain?” tanya Raja Luwu pada  putrinya. “Jika itu adalah jalan yang  terbaik, Ananda menerima  keputusan Ayah dengan senang hati,” jawab sang Putri menerima  keputusan  ayahnya dengan tulus.

Dengan  berat hati, Datu Luwu  terpaksa harus berpisah dengan putri yang sangat  dicintainya itu. Berangkatlah sang  Putri dengan perahu bersama  beberapa pengawal istana. Sebelum berangkat, Datu  Luwu memberikan  sebuah keris pusaka kepada Putri Tandampalik sebagai tanda  bahwa ia  tidak pernah melupakan, apalagi membuang anaknya. Setelah  mempersiapkan  segala perbekalan yang dibutuhkan, berangkatlah mereka ke suatu  daerah  yang jauh dari Kerajaan Luwu. Berbulan-bulan sudah mereka berlayar  tanpa  arah dan tujuan.

Pada  suatu hari, tampaklah bagi mereka  sebuah pulau dari kejauhan. “Lihat,  Tuan Putri!” seru seorang pengawal sambil  menunjuk ke arah pulau itu. “Akhirnya,  kita pun menemukan pulau,”  jawab sang Putri dengan perasaan lega. Para  pengawal pun semakin cepat mengayuh  perahunya mendekati pulau itu.  “Wah, indah sekali pemandangan itu. Sepertinya  pulau itu belum terjamah  oleh manusia,” sahut pengawal yang lain dengan kagum.

Tak  berapa  lama, sampailah mereka di pulau itu. Seorang pengawal yang  lebih dahulu  menginjakkan kakinya di pulau itu menemukan buah wajao. Pengawal itu  kemudian memetik beberapa biji buah wajao untuk sang Putri. “Pulau ini  kuberi nama Pulau Wajo,”  kata  sang Putri saat menerima buah itu. Sejak saat itu, Putri  Tandampalik beserta  pengawalnya memulai kehidupan baru. Mereka hidup  dengan penuh kesederhanaan. Meskipun  demikian, mereka tetap bekerja  keras penuh dengan semangat dan gembira. Hari  berganti hari, minggu  berganti minggu, bulan berganti bulan, tak terasa satu  tahun sudah  mereka berada di tempat itu.

Suatu  waktu,  Putri Tandampalik duduk di tepi danau yang terletak di tengah  pulau itu. Tiba-tiba  seekor kerbau putih menghampiri dan menjilati  kulit sang Putri dengan lembut. Semula,  sang Putri hendak mengusirnya.  Tetapi, hewan itu tampak jinak dan terus  menjilatinya. Akhirnya, ia  diamkan saja. Sungguh ajaib! Setelah berkali-kali  dijilat oleh kerbau  itu, kulit sang Putri yang mengeluarkan cairan tiba-tiba  hilang tanpa  bekas. Kulit sang Putri kembali halus, mulus dan bersih seperti   sediakala. Sang Putri terharu dan bersyukur kepada Tuhan, karena  penyakitnya  telah sembuh. Ia kemudian berpesan kepada para pengawalnya,  “Mulai saat ini,  aku minta kalian untuk tidak menyembelih atau memakan  kerbau putih yang ada di  pulau ini, karena hewan itu telah  menyembuhkan penyakitku.” Permintaan sang  Putri itu langsung dipenuhi  oleh seluruh pengawalnya. Hingga kini, kerbau putih  yang ada di Pulau  Wajo dibiarkan hidup bebas dan beranak pinak. Kemudian oleh  masyarakat  setempat, kerbau putih tersebut disebut sebagai sakkoli.

Pada  suatu  hari, pulau Wajo kedatangan serombongan pemburu. Mereka adalah  Putra Mahkota  Kerajaan Bone yang didampingi oleh Anreguru Pakanranyeng, Panglima Kerajaan Bone, dan beberapa pengawalnya. Saking  asyiknya  berburu, Putra Mahkota Raja Bone tidak sadar kalau ia sudah  terpisah dari  rombongannya dan tersesat di hutan. Ia terus berteriak  memanggil panglima dan  para pengawalnya. “Panglimaaa...! Pengawaaal...!  Aku di sini, kalian di mana...?”  Berkali-kali sang Putra Mahkota  berteriak, namun tidak ada jawaban. Menjelang  malam, ia pun memutuskan  untuk berstirahat di bawah sebuah pohon besar, karena  kelelahan  seharian berburu.

Malam  semakin  larut, Putra Mahkota tidak dapat memejamkan matanya.  Suara-suara binatang malam  membuatnya terus terjaga dan gelisah. Di  tengah gelapnya malam, tiba-tiba ia  melihat seberkas cahaya dari  kejauhan. Semakin lama, pancaran cahaya itu  semakin terang. Ia sangat  penasaran ingin mengetahuinya. Ia kemudian  memberanikan diri untuk  mencari sumber cahaya itu. Dengan tertatih-tatih, Putra  Mahkota  berusaha berjalan mengikuti kaki melangkah menelusuri gelapnya malam.  Akhirnya,  sampailah ia di sebuah perkampungan yang ramai dengan  rumah-rumah penduduk. Setelah  ia memasuki perkampungan itu, sumber  cahaya itu semakin jelas terdapat di  sebuah rumah yang nampak kosong.  Dengan melangkah pelan-pelan, Putra Mahkota  mendekati dan memasuki  rumah itu. Alangkah terkejutnya ia ketika melihat  seorang gadis yang  cantik sekali bak bidadari sedang menjerang (memasak) air di  dalam  rumah itu. Gadis   cantik itu tidak lain adalah Putri Tandampalik. “Ya, Tuhan! Mimpikah  aku.  Selama hidupku, baru kali ini aku melihat gadis secantik itu,”  kata Putra  Mahkota dalam hati dengan perasaan kagum.

Putri   Tandampalik yang merasa kedatangan tamu, tiba-tiba menoleh. Sang Putri   tergagap, “Tampan sekali pemuda ini. Tetapi, siapa dia dan dari mana  asalnya? Sepertinya  dia bukan penduduk sini,” kata sang Putri dalam  hati. Kemudian mereka berdua berkenalan.  Dalam waktu singkat, keduanya sudah akrab. Putri   Tandampalik sangat kagum dengan kehalusan tutur bahasa Putra Mahkota.  Meski ia  seorang calon raja, ia sangat sopan dan rendah hati.  Sebaliknya, bagi Putra  Mahkota, Putri Tandampalik adalah seorang gadis  yang anggun dan tidak sombong. Kecantikan  dan penampilannya yang  sederhana membuat Putra Mahkota kagum dan langsung  menaruh hati. Namun,  Putra Mahkota tidak bisa berlama-lama di Pulau Wajo  menemani Putri  Tandampalik, karena ia harus kembali ke negerinya untuk  menyelesaikan  beberapa kewajibannya di Istana Bone.

Sejak   perjalanan dari Pulau Wajo sampai ke Kerajaan Bone, Putra Mahkota  selalu  teringat pada wajah cantik Putri Tandampalik. Ingin rasanya  Putra Mahkota  tinggal di Pulau Wajo. Anreguru Pakanyareng yang lebih  dulu tiba di negeri Bone  setelah berpisah dengan Putra Mahkota di Pulau  Wajo, mengetahui apa yang  dirasakan oleh putra rajanya itu. Ia sering  melihat Putra Mahkota duduk  termenung seorang diri di tepi telaga. Oleh  karena tidak ingin melihat tuannya  terus bersedih, maka Anreguru  Pakanyareng segera menghadap dan menceritakan  semua kejadian yang  pernah mereka alami di Pulau Wajo. “Ampun, Baginda Raja! Hamba   mengusulkan agar Paduka Raja segera melamar Putri Tandampalik,” usul  Anreguru  Pakanyareng. Setelah mendengar semua cerita dan usulan  Anreguru itu, Raja Bone  segera mengutus beberapa pengawalnya  mendampingi Putra Mahkota untuk melamar  Putri Tandampalik di Pulau  Wajo.

Sesampainya  di  pulau itu, Putri Tandampalik tidak langsung menerima lamaran Putra  Mahkota. Ia  hanya memberikan keris pusaka Kerajaan Luwu yang diberikan  ayahnya ketika ia  diasingkan. “Maaf, Tuan-tuan! Aku belum bisa menerima  lamaran kalian. Bawalah  keris ini kepada Ayahandaku. Jika Ayahandaku  menerima keris ini berarti lamaran  kalian diterima,” ujar sang Putri  seraya menyerahkan keris pusaka itu. Setelah  bermusyawarah dengan  pengawalnya, Putra Mahkota memutuskan untuk berangkat  sendiri ke  Kerajaan Luwu. Perjalanan berhari-hari ia jalani penuh dengan  semangat.  Setibanya di Kerajaan Luwu, Putra Mahkota menceritakan pertemuannya   dengan Putri Tandampalik dan menyerahkan keris pusaka itu pada Datu  Luwu.

Datu  Luwu dan  permasuri sangat gembira mendengar berita baik tersebut. Datu  Luwu sangat kagum  dengan perangai Putra Mahkota. Datu Luwu merasa  bahwa Putra Mahkota adalah  seorang pemuda yang gigih, bertutur kata  lembut, sopan dan penuh semangat. Tanpa  berpikir panjang lagi, Datu  Luwu menerima keris pusaka itu dengan tulus. Hal  ini berarti bahwa  lamaran Putra Mahkota diterima. Tanpa menunggu lama, Datu  Luwu dan  permaisuri datang mengunjungi Pulau Wajo untuk menemui putri   kesayangannya. Pertemuan Datu Luwu dengan putri tunggalnya sangat  mengharukan.  “Maafkan Ayah, Nak! Ayah telah membuangmu ke tempat ini,”  Datu Luwu minta maaf  sambil memeluk putrinya. “Tidak, Ayah! Justru Ayah  harus bersyukur, karena  rakyat Luwu terhindar dari penyakit menular  yang menimpa diriku,” kata Putri  Tandampalik.

Beberapa  hari  kemudian, Putri Tandampalik menikah dengan Putra Mahkota Raja  Bone di Pulau Wajo.  Pesta pernikahan mereka berlansung sangat meriah.  Seluruh keluarga dari dua  Kerajaan Besar di Sulawesi Selatan itu sangat  gembira dengan pernikahan  tersebut. Putri Tandampalik dan Putra  Mahkota hidup bahagia. Beberapa tahun  kemudian, Putra Mahkota naik  tahta. Ia menjadi raja yang arif dan bijaksana.  Maka semakin  bertambahlah kebahagiaan mereka.




disadur dari : Effendy,  Tennas. 2006. Tunjuk Ajar Melayu. Yogyakarta: Balai Kajian dan  Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan AdiCita Karya Nusa.

Legenda Klentheng Ancol Cerita Rakyat Dari DKI

Legenda Klentheng Ancol Cerita Rakyat Dari DKI

Dahulu kala, ada sebuah kapal berlayar dari Negeri China menuju ke pelabuhan Sunda Kelapa, kapal itu milik Sampo Toalang. Di dalam kapal itu ada seorang juru masak yang bernama Ming.

Suatu hari, pada saat dalam perjalanan, tiba-tiba kapal itu diterjang ombak yang sangat besar. Semua orang panik dibuatnya. Mereka tidak menyangka akan adanya ombak besar karena cuaca hari itu sangat bagus.Tiba-tiba di depan kapal mereka, muncul seekor naga yang amat besar. Dengan menjulurkan lidahnya, naga itu menghadang laju kapal itu. Rupanya naga itulah yang membuat ombak besar sehingga kapal terombang ambing.

Seketika Sampo Toalang mengeluarkan pedangnya, kemudian dia melompat ke arah sang naga dan pertarunganpun tak terhindarkan. Pertarungan itu seru sekali. Setelah lama bertarung, akhirnya naga itu berhasil dibunuh oleh Sampo Toalang. Melihat hal itu, anak buah kapal bersorak gembira karena semua bisa selamat.

Kapal Sampo Toalang kembali melanjutkan perjalanan dengan aman.Singkat cerita, akhirnya kapal itu sudah mendekati daerah sunda kepala. Namun tiba-tiba Sampo Toalang berkata ”Saudara-saudara, kita akan berlabuh di Ancol, karena Sunda kelapa sedang banjir, sekarang kalian turunlah ke darat. Can belilah oabat-obatan dan kamu, Ming, belilah makanan dan minuman”

Akhirnya, semua anak buah Sampo Toalang turun di ancol. Mereka semua menjalankan tugas masing-masing.

Ming sang juru masak pergi ke pasar untuk membeli makanan dan minuman yang akan digunakan sebagai bahan persediaan di kapal.Di sela-sela belanja, Ming melihat seorang gadis cantik. ”siapa gadis cantik itu, aku ingin tahu namanya” kata Ming dalam hati.

Tanpa sungkan-sungkan akhirnya Ming mendatangi gadis itu ”Salam, namaku Ming, bolehkah aku berkenalan denganmu?” tanya Ming. ”Namaku Siti. Lengkapnya Siti Wati” kata gadis cantik itu.

Melihat kecantikan siti, Ming langsung menyukainya. Ming lupa akan tugasnya sebagai juru masak di kapal dan malah akhirnya dia memutuskan untuk tinggal di Ancol demi si Siti.

Asmara mereka berdua berlanjut dan beberapa bulan kemudian Ming dan Siti Wati menikah.

Ming sangat disukai oleh penduduk Ancol. Dia mengajarkan penduduk Ancol memasak sesuai keahliannya sebagai juru masak.

Telah bertahun-tahun Ming tinggal di Ancol.

Suatu hari Ming dan istrinya sakit keras, entah apa penyakitnya, lama sakit mereka tak sembuh-sembuh dan akhirnya Ming dan Siti Wati meninggal dunia.

Untuk mengenang Ming dan Siti Wati, penduduk Ancol membangun sebuah kelenteng. Kelenteng itu dinamai kelenteng Ancol.

Putri Tangguk Cerita Rakyat Dari Jambi


Alkisah, di Negeri Bunga, Kecamatan Danau Kerinci Jambi, ada seorang perempuan bernama Putri Tangguk. Ia hidup bersama suami dan tujuh orang anaknya. Untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, ia bersama suaminya menanam padi di sawahnya yang hanya seluas tangguk. Meskipun hanya seluas tangguk, sawah itu dapat menghasilkan padi yang sangat banyak. Setiap habis dipanen, tanaman padi di sawahnya muncul lagi dan menguning. Dipanen lagi, muncul lagi, dan begitu seterusnya. Berkat ketekunannya bekerja siang dan malam menuai padi, tujuh lumbung padinya yang besar-besar sudah hampir penuh. Namun, kesibukan itu membuatnya lupa mengerjakan pekerjaan lain. Ia terkadang lupa mandi sehingga dakinya dapat dikerok dengan sendok. Ia juga tidak sempat bersilaturahmi dengan tetangganya dan mengurus ketujuh orang anaknya.

Pada suatu malam, saat ketujuh anaknya sudah tidur, Putri Tangguk berkata kepada suaminya yang sedang berbaring di atas pembaringan.

“Bang! Adik sudah capek setiap hari menuai padi. Adik ingin mengurus anak-anak dan bersilaturahmi ke tetangga, karena kita seperti terkucil,” ungkap Putri Tangguk kepada suaminya.

“Lalu, apa rencanamu, Dik?” tanya suaminya dengan suara pelan.

“Begini Bang! Besok Adik ingin memenuhi ketujuh lumbung padi yang ada di samping rumah untuk persediaan kebutuhan kita beberapa bulan ke depan,” jawab Putri Tangguk.

“Baiklah kalau begitu. Besok anak-anak kita ajak ke sawah untuk membantu mengangkut padi pulang ke rumah,” jawab suaminya.

“Ya, Bang!” jawab Putri Tangguk.

Beberapa saat kemudian, mereka pun tertidur lelap karena kelelahan setelah bekerja hampir sehari semalam. Ketika malam semakin larut, tiba-tiba hujan turun dengan deras. Hujan itu baru berhenti saat hari mulai pagi. akibatnya, semua jalan yang ada di kampung maupun yang menuju ke sawah menjadi licin.

Usai sarapan, Putri Tangguk bersama suami dan ketujuh anaknya berangkat ke sawah untuk menuai padi dan mengangkutnya ke rumah. Dalam perjalanan menuju ke sawah, tiba-tiba Putri Tangguk terpelesat dan terjatuh. Suaminya yang berjalan di belakangnya segera menolongnya. Walau sudah ditolong, Putri Tangguk tetap marah-marah.

“Jalanan kurang ajar!” hardik Putri Tangguk.

“Baiklah! Padi yang aku tuai nanti akan aku serakkan di sini sebagai pengganti pasir agar tidak licin lagi,” tambahnya.

Setelah menuai padi yang banyak, hampir semua padi yang mereka bawa diserakkan di jalan itu sehingga tidak licin lagi. Mereka hanya membawa pulang sedikit padi dan memasukkannya ke dalam lumbung padi. Sesuai dengan janjinya, Putri Tangguk tidak pernah lagi menuai padi di sawahnya yang seluas tangguk itu. Kini, ia mengisi hari-harinya dengan menenun kain. Ia membuat baju untuk dirinya sendiri, suami, dan untuk anak-anaknya. Akan tetapi, kesibukannya menenun kain tersebut lagi-lagi membuatnya lupa bersilaturahmi ke rumah tetangga dan mengurus ketujuh anaknya.

Pada suatu hari, Putri Tangguk keasyikan menenun kain dari pagi hingga sore hari, sehingga lupa memasak nasi di dapur untuk suami dan anak-anaknya. Putri Tangguk tetap saja asyik menenun sampai larut malam. Ketujuh anaknya pun tertidur semua. Setelah selesai menenun, Putri Tangguk pun ikut tidur di samping anak-anaknya.

Pada saat tengah malam, si Bungsu terbangun karena kelaparan. Ia menangis minta makan. Untungnya Putri Tangguk dapat membujuknya sehingga anak itu tertidur kembali. Selang beberapa waktu, anak-anaknya yang lain pun terbangun secara bergiliran, dan ia berhasil membujuknya untuk kembali tidur. Namun, ketika anaknya yang Sulung bangun dan minta makan, ia bukan membujuknya, melainkan memarahinya.

“Hei, kamu itu sudah besar! Tidak perlu dilayani seperti anak kecil. Ambil sendiri nasi di panci. Kalau tidak ada, ambil beras dalam kaleng dan masak sendiri. Jika tidak ada beras, ambil padi di lumbung dan tumbuk sendiri!” seru Putri Tangguk kepada anak sulungnya.

Oleh karena sudah kelaparan, si Sulung pun menuruti kata-kata ibunya. Namun, ketika masuk ke dapur, ia tidak menemukan nasi di panci maupun beras di kaleng.

“Bu! Nasi dan beras sudah habis semua. Tolonglah tumbukkan dan tampikan padi!” pinta si Sulung kepada ibunya.


“Ya, sudahlah kalau begitu. Tahan saja laparnya hingga besok pagi! Ibu malas menumbuk dan menampi beras, apalagi malam-malam begini. Nanti mengganggu tetangga,” ujar Putri Tangguk.

Usai berkata begitu, Putri Tangguk tertidur kembali karena kelelahan setelah menenun seharian penuh. Si Sulung pun kembali tidur dan ia harus menahan lapar hingga pagi hari.

Keesokan harinya, ketujuh anaknya bangun dalam keadaan perut keroncongan. Si Bungsu menangis merengek-rengek karena sudah tidak kuat menahan lapar. Demikian pula, keenam anaknya yang lain, semua kelaparan dan minta makan. Putri Tangguk pun segera menyuruh suaminya mengambil padi di lumbung untuk ditumbuk. Sang Suami pun segera menuju ke lumbung padi yang berada di samping rumah. Alangkah terkejutnya sang Suami saat membuka salah satu lumbung padinya, ia mendapati lumbungnya kosong.

“Hei, ke mana padi-padi itu?” gumam sang Suami.

Dengan perasaan panik, ia pun memeriksa satu per satu lumbung padinya yang lain. Namun, setelah ia membuka semuanya, tidak sebutir pun biji padi yang tersisa.

“Dik...! Dik...! Cepatlah kemari!” seru sang Suami memanggil Putri Tangguk.

“Ada apa, Bang?” tanya Putri Tangguk dengan perasaan cemas.

“Lihatlah! Semua lumbung padi kita kosong. Pasti ada pencuri yang mengambil padi kita,” jawab sang Suami.

Putri Tangguk hanya ternganga penuh keheranan. Ia seakan-akan tidak percaya pada apa yang baru disaksikannya.

“Benar, Bang! Tadi malam pencuri itu juga mengambil nasi kita di panci dan beras di kaleng,” tambah Putri Tangguk.

“Tapi, tidak apalah, Bang! Kita masih mempunyai harapan. Bukankah sawah kita adalah gudang padi?” kata Putri Tangguk.

Usai berkata begitu, Putri Tangguk langsung menarik tangan suaminya lalu berlari menuju ke sawah. Sesampai di sawah, alangkah kecewanya Putri Tangguk, karena harapannya telah sirna.

“Bang! Pupuslah harapan kita. Lihatlah sawah kita! Jangankan biji padi, batang padi pun tidak ada. Yang ada hanya rumput tebal menutupi sawah kita,” kata Putri Tangguk.

Sang Suami pun tidak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya tercengang penuh keheranan menyaksikan peristiwa aneh itu. Dengan perasaan sedih, Putri Tangguk dan suaminya pulang ke rumah. Kakinya terasa sangat berat untuk melangkah. Selama dalam perjalanan, Putri Tangguk mencoba merenungi sikap dan perbuatannya selama ini. Sebelum sampai di rumah, teringatlah ia pada sikap dan perlakuannya terhadap padi dengan menganggapnya hanya seperti pasir dan menyerakkannya di jalan yang becek agar tidak licin.

“Ya... Tuhan! Itukah kesalahanku sehingga kutukan ini datang kepada kami?” keluh Putri Tangguk dalam hati.

Sesampainnya di rumah, Putri Tangguk tidak dapat berbuat apa-apa. Seluruh badannya terasa lemas. Hampir seharian ia hanya duduk termenung. Pada malam harinya, ia bermimpi didatangi oleh seorang lelaki tua berjenggot panjang mengenakan pakaian berwarna putih.

“Wahai Putri Tangguk! Aku tahu kamu mempunyai sawah seluas tangguk, tetapi hasilnya mampu mengisi dasar Danau Kerinci sampai ke langit. Tetapi sayang, Putri Tangguk! Kamu orang yang sombong dan takabbur. Kamu pernah meremehkan padi-padi itu dengan menyerakkannya seperti pasir sebagai pelapis jalan licin. Ketahuilah, wahai Putri Tangguk...! Di antara padi-padi yang pernah kamu serakkan itu ada setangkai padi hitam. Dia adalah raja kami. Jika hanya kami yang kamu perlakukan seperti itu, tidak akan menjadi masalah. Tetapi, karena raja kami juga kamu perlakukan seperti itu, maka kami semua marah. Kami tidak akan datang lagi dan tumbuh di sawahmu. Masa depan kamu dan keluargamu akan sengsara. Rezekimu hanya akan seperti rezeki ayam. Hasil kerja sehari, cukup untuk dimakan sehari. Kamu dan keluargamu tidak akan bisa makan jika tidak bekerja dulu. Hidupmu benar-benar akan seperti ayam, mengais dulu baru makan....” ujar lelaki tua itu dalam mimpi Putri Tangguk.

Putri Tangguk belum sempat berkata apa-apa, orang tua itu sudah menghilang. Ia terbangun dari tidurnya saat hari mulai siang. Ia sangat sedih merenungi semua ucapan orang tua yang datang dalam mimpinya semalam. Ia akan menjalani hidup bersama keluarganya dengan kesengsaraan. Ia sangat menyesali semua perbuatannya yang sombong dan takabbur dengan menyerakkan padi untuk pelapis jalan licin. Namun, apalah arti sebuah penyesalan. Menyesal kemudian tiadalah guna.



ditulis dari : Kaslani. Buku Cerita Rakyat Dari Jambi 2. Jakarta: Grasindo. 1998.

Aji Saka Cerita Rakyat Dari Jawa Timur

Aji Saka Cerita Rakyat Dari Jawa Timur

Pada jaman dahulu, di Pulau Majethi hidup seorang satria tampan bernama Ajisaka.Selain tampan, Ajisaka juga berilmu tinggi dan sakti mandraguna. Sang Satria mempunyai dua orang punggawa, Dora dan Sembada namanya. Kedua punggawa itu sangat setia kepada pemimpinnya, sama sekali tidak pernah mengabaikan perintahnya. Pada suatu hari, Ajisaka berkeinginan pergi berkelanan meninggalkan Pulau Majethi. Kepergiannya ditemani oleh punggawanya yang bernama Dora, sementara Sembada tetap tinggal di Pulau Pulo Majethi, diperintahkan menjaga pusaka andalannya. Ajisaka berpesan bahwa Sembada tidak boleh menyerahkan pusaka tersebut kepada siapapun kecuali kepada Ajisaka sendiri. Sembada menyanggupi akan melaksanakan perintahnya.

Ganti cerita, pada masa itu di tanah Jawa terdapat negara yang terkenal makmur, tertib, aman dan damai, yang bernama Medhangkamulan.Rajanya bernama Prabu Dewatacengkar, seorang raja yang luhur budinya serta bijaksana. Pada suatu hari, juru masak kerajaan mengalami kecelakaan, jarinya terbabat pisau hingga terlepas. Ki Juru Masak tidak menyadari bahwa potongan jarinya tercebur ke dalam hidangan yang akan disuguhkan kepada Sang Prabu. Ketika tanpa sengaja memakan potongan jari tersebut, Sang Prabu serasa menyantap daging yang sangat enak, sehingga ia mengutus Sang Patih untuk menanyai Ki Juru Masak. Setelah mengetahui bahwa yang disantap tadi adalah daging manusia, sang Prabu lalu memerintahkan Sang Patih agar setiap hari menghaturkan seorang dari rakyatnya untuk santapannya. Sejak saat itu Prabu Dewatacengkar mempunyai kegemaran yang menyeramkan, yaitu menyantap daging manusia. Wataknya berbalik seratus delapanpuluh derajat, berubah menjadi bengis dan senang menganiaya. Negara Medhangkamulan beubah menjadi wilayah yang angker dan sepi karena rakyatnya satu persatu dimangsa oleh rajanya, sisanya lari menyelamatkan diri. Sang Patih pusing memikirkan keadaan, karena sudah tidak ada lagi rakyat yang bisa dihaturkan kepada rajanya.

Pada saat itulah Ajisaka bersama punggawanya, Dora, tiba di Medhangkamulan. klawan punggawane, Dora, tumeka ing Medhangkamulan. Heranlah Sang Satria melihat keadaan yang sunyi dan menyeramkan itu, maka ia lalu mencari tahu penyebabnya. Setelah mendapat keterangan mengenai apa yang sedang terjadi di Medhangkamulan, Ajisaka lalu menghadap Rekyana Patih, menyatakan kesanggupannya untuk menjadi santapan Prabu Dewatacengkar. Pada awalnya Sang Patih tidak mengizinkan karena merasa sayang bila Ajisaka yang tampan dan masih muda harus disantap Sang Prabu, namun Ajisaka sudah bulat tekadnya, sehingga akhirnya iapun dibawa menghadap Sang Prabu. Sang Prabu tak habis pikir, mengapa orang yang sedemikian tampan dan masih muda mau menyerahkan jiwa raganya untuk menjadi santapannya. Ajisaka mengatakan bahwa ia rela dijadikan santapan sang Prabu asalakan ia dihadiahi tanah seluas ikat kepala yang dikenakannya. Di samping itu, harus Sang rabu sendiri yang mengukur wilayah yang akan dihadiahkan tersebut. Sang Prabu menyanggupi permintaannya. Ajisaka kemudian mempersilakan Sang Prabu menarik ujung ikat kepalanya. Sungguh ajaib, ikat kepala itu seakan tak ada habisnya. Sang Prabu Dewatacengkar terpaksa semakin mundur dan semakin mundur, sehingga akhirnya tiba ditepi laut selatan. Ikat kepala tersebut kemudian dikibaskan oleh Ajisaka sehingga Sang Prabu terlempar jatuh ke laut. Seketika wujudnya berubah menjadi buaya putih. Ajisaka kemudian menjadi raja di Medhangkamulan.

Setelah dinobatkan menjadi raja Medhangkamulan, Ajisaka mengutus Dora pergi kembali ke Pulo Majethi menggambil pusaka yang dijaga oleh Sembada. Setibanya di Pulo Majethi, Dora menemui Sembada dan menjelaskan bahwa ia diperintahkan untuk mengambil pusaka Ajisaka. Sembada tidak mau memberikan pusaka tersebut karena ia berpegang pada perintah Ajisaka ketika meninggalkan Majethi. Sembada yang juga melaksanakan perintah Sang Prabu memaksa meminta agar pusaka tersebut diberikan kepadanya. Akhirnya kedua punggawa itu bertempur. Karena keduanya sama-sama sakti, peperangan berlangsung seru, saling menyerang dan diserang, sampai keduanya sama-sama tewas.

Kabar mengenai tewasnya Dora dan Sembada terdengar oleh Sang Prabu Ajisaka. Ia sangat menyesal mengingat kesetiaan kedua punggawa kesayangannya itu. Kesedihannya mendorongnya untuk menciptakan aksara untuk mengabadikan kedua orang yang dikasihinya itu.


Ha Na Ca Ra Ka
Ana utusan (ada utusan)
Da Ta Sa Wa La
Padha kekerengan (saling berselisih pendapat)
Pa Dha Ja Ya Nya
Padha digdayané (sama-sama sakti)
Ma Ga Ba Tha Nga
Padha dadi bathangé (sama-sama mejadi mayat)

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites